Gus Miftah dan Tantangan Etika Humor dalam Dakwah

Gus Miftah, pendakwah yang dikenal dengan gaya komunikasinya yang santai dan humoris, kini berada dalam sorotan tajam setelah dua peristiwa yang viral di dunia maya. Kasus terbaru yang melibatkan candaannya kepada penjual es teh di Magelang, serta video lama saat ia melontarkan candaan merendahkan kepada seniman Yogyakarta, Yati Pesek, mengundang pertanyaan besar tentang etika humor dalam dakwah. Sebagai tokoh agama yang kerap dijadikan panutan, tindakan-tindakan ini menyulut diskusi publik tentang batas humor dan tanggung jawab moral.

Humor sebagai Alat Dakwah

Humor memiliki potensi besar dalam menyampaikan pesan, terutama dalam konteks dakwah. Penelitian menunjukkan bahwa humor dapat meningkatkan penerimaan audiens terhadap informasi yang disampaikan. Menurut Ziv (1988) dalam studinya tentang humor, “humor dapat menciptakan hubungan emosional antara pembicara dan pendengar, sehingga memperkuat daya tarik pesan.” Gus Miftah menggunakan humor untuk mendekati audiens yang sering kali merasa teralienasi dari pendekatan agama yang kaku.

Namun, humor juga memiliki batas. Kearifan lokal dalam budaya Jawa mengajarkan guyon maton—humor yang jenaka tetapi tetap bermartabat. Candaan yang melampaui batas, seperti dalam kasus Gus Miftah terhadap Yati Pesek, tidak hanya mencederai martabat individu, tetapi juga merusak esensi dakwah yang seharusnya penuh penghormatan.

Jejak Digital dan Akuntabilitas Tokoh Publik

Era digital membawa dinamika baru dalam menilai seorang tokoh publik. Jejak digital menjadi arsip abadi yang bisa mencerminkan konsistensi moral seseorang. Dalam kasus Gus Miftah, video lama dan komentar terhadap penjual es teh memunculkan kritik bahwa gaya humornya kerap mengorbankan martabat orang lain demi menghibur.

Menurut teori impression management (Goffman, 1959), tokoh publik harus berhati-hati menjaga “panggung depan” mereka, yaitu perilaku yang terlihat oleh publik. Ketika candaan merendahkan seperti ini viral, dampaknya tidak hanya mencoreng citra pribadi, tetapi juga memperlemah kepercayaan publik terhadap nilai-nilai yang diwakilinya.

Read also  Daily Rituals Rooted in Tradition: How Local Practices Cultivate Inner Peace

Etika Humor dalam Dakwah

Dalam Islam, menjaga lisan adalah hal yang fundamental. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim). Humor yang menyakiti, bahkan jika dimaksudkan untuk melucu, bertentangan dengan ajaran ini.

Candaan Gus Miftah terhadap Yati Pesek dan Sunhaji tidak hanya melampaui batas sopan santun, tetapi juga berpotensi menyinggung audiens yang menghormati mereka. Mengutip Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, “Lisan adalah cerminan hati. Maka jagalah ia agar tidak menyakiti.” Dalam konteks dakwah, pesan ini menjadi sangat relevan karena pendakwah bukan sekadar menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan moral.

Kesempatan untuk Refleksi

Kesalahan adalah bagian dari kemanusiaan, tetapi bagaimana seorang tokoh memperbaiki kesalahan tersebut menunjukkan tingkat kedewasaan dan tanggung jawabnya. Permintaan maaf Gus Miftah kepada Sunhaji adalah langkah awal yang baik, tetapi konsistensi dalam menjaga etika ke depan akan menjadi indikator utama kesungguhannya.

Sebagai seorang pendakwah yang memiliki pengaruh besar, Gus Miftah memiliki peluang untuk merevisi pendekatannya terhadap humor. Humor yang sehat adalah yang menghibur tanpa menyakiti, mendekatkan tanpa merendahkan. Ia bisa belajar dari pendekatan Rasulullah SAW yang menggunakan kelembutan, hikmah, dan kesantunan dalam berinteraksi, bahkan dalam suasana bercanda.

Penutup

Gus Miftah adalah gambaran dari tantangan yang dihadapi tokoh agama di era digital. Di satu sisi, ia harus menjangkau audiens yang beragam dengan pendekatan yang relevan. Di sisi lain, ia dituntut untuk tetap menjaga etika dan martabat dalam setiap ucapannya. Mengutip Ziv (1988), humor yang bijak dapat menjadi alat komunikasi yang ampuh, tetapi ketika digunakan secara sembarangan, ia justru menjadi bumerang.

Read also  Tantangan dan Peluang UMKM di Era Ekonomi Kekinian

Melalui refleksi dan perbaikan, Gus Miftah memiliki peluang untuk tidak hanya mempertahankan pengaruhnya, tetapi juga memberikan teladan bagaimana seorang tokoh agama bisa belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik.

Referensi:

  • Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar al-Minhaj, 2011.
  • Goffman, Erving. The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books, 1959.
  • Ziv, Avner. Personality and Sense of Humor. Springer Science & Business Media, 1988.

Arif Hidayat

Dosen Universitas Nusa Mandiri

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.