Deep Learning: Konsep dan Sintaksnya

Dalam dunia pendidikan, deep learning adalah pendekatan pembelajaran yang mendorong siswa untuk mengembangkan pemahaman mendalam tentang suatu materi, mengaitkannya dengan pengalaman, dan menerapkannya dalam konteks nyata. Strategi ini relevan di era globalisasi dan revolusi digital, di mana keterampilan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikasi (4C) sangat dibutuhkan.

Konsep Deep Learning

Karakteristik Deep Learning dalam Pendidikan

Deep learning dalam konteks pendidikan memiliki beberapa karakteristik utama. Pertama, pendekatan ini menekankan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Siswa tidak hanya menerima informasi secara pasif tetapi juga berpartisipasi dalam eksplorasi, diskusi, dan kolaborasi. Kedua, pembelajaran ini menuntut pengembangan kemampuan metakognitif, yaitu kemampuan siswa untuk mengawasi, mengevaluasi, dan mengarahkan proses berpikir mereka sendiri (Biggs & Tang, 2011).

Ketiga, deep learning mengutamakan relevansi kontekstual, artinya materi pembelajaran dikaitkan dengan pengalaman sehari-hari siswa atau masalah dunia nyata. Ini memungkinkan siswa memahami bagaimana pengetahuan tersebut dapat diterapkan. Keempat, evaluasi dalam deep learning tidak hanya berbasis hasil, tetapi juga proses. Misalnya, bagaimana siswa menyelesaikan masalah atau memberikan alasan dalam pengambilan keputusan.

Sintaks Deep Learning

Sebagai pendekatan pembelajaran, deep learning memiliki sintaks atau tahapan yang dapat diterapkan oleh pendidik dalam proses mengajar. Berikut adalah tahapan sintaks deep learning berdasarkan pandangan Biggs (1999) dan teori konstruktivisme:

  1. Tahap Stimulasi
    Pada tahap awal, pendidik menciptakan situasi yang merangsang rasa ingin tahu siswa. Ini bisa dilakukan melalui pertanyaan pemantik, studi kasus, atau fenomena yang relevan. Misalnya, guru dapat memulai pelajaran dengan menanyakan, “Mengapa perubahan iklim menjadi perhatian global?”
  2. Tahap Eksplorasi
    Siswa diberi kebebasan untuk mengeksplorasi informasi, mengumpulkan data, atau berdiskusi dalam kelompok. Guru bertindak sebagai fasilitator, mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan, menganalisis informasi, dan memformulasikan hipotesis.
  3. Tahap Elaborasi
    Dalam tahap ini, siswa diajak untuk memperdalam pemahaman mereka melalui pembelajaran berbasis proyek, diskusi kelas, atau penugasan berbasis masalah (problem-based learning). Tahap ini bertujuan untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan pengalaman sebelumnya.
  4. Tahap Aplikasi
    Siswa menerapkan apa yang telah mereka pelajari untuk memecahkan masalah nyata atau menciptakan solusi inovatif. Misalnya, setelah mempelajari prinsip ekosistem, siswa dapat merancang proyek pelestarian lingkungan di komunitas mereka.
  5. Tahap Refleksi
    Pendidik mendorong siswa untuk merefleksikan proses pembelajaran mereka, mengevaluasi apa yang telah mereka pahami, dan bagaimana mereka dapat menerapkan pengetahuan tersebut di masa depan. Refleksi dapat dilakukan melalui jurnal, presentasi, atau diskusi.
Read also  Konsep Penelitian Monodisiplin dalam Linguistik Terapan

Aplikasi Deep Learning dalam Pembelajaran

Deep learning dalam pendidikan tidak terlepas dari teori pembelajaran konstruktivisme yang diperkenalkan oleh Piaget dan Vygotsky. Piaget (1971) menekankan pentingnya pengalaman belajar yang membangun struktur kognitif siswa, sementara Vygotsky (1978) memperkenalkan konsep zone of proximal development (ZPD), di mana siswa membutuhkan dukungan (scaffolding) dari guru atau teman sebaya untuk mencapai potensi maksimal mereka.

Di Indonesia, pendekatan deep learning sejalan dengan implementasi Kurikulum Merdeka, yang menekankan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan pembelajaran berdiferensiasi untuk memenuhi kebutuhan siswa secara individual.

Sebagai contoh, dalam pembelajaran biologi tentang ekosistem, guru dapat menggunakan sintaks deep learning sebagai berikut:

  1. Stimulasi: Guru menampilkan video tentang kerusakan ekosistem akibat deforestasi.
  2. Eksplorasi: Siswa mencari informasi tentang hubungan antara komponen biotik dan abiotik dalam ekosistem.
  3. Elaborasi: Siswa bekerja dalam kelompok untuk menganalisis dampak deforestasi di daerah tertentu.
  4. Aplikasi: Kelompok siswa mempresentasikan solusi yang mereka rancang untuk melindungi ekosistem.
  5. Refleksi: Siswa menulis esai tentang bagaimana pembelajaran ini memengaruhi pandangan mereka terhadap lingkungan.

Referensi

Biggs, J. (1999). Teaching for quality learning at university: What the student does. SRHE and Open University Press.

Biggs, J., & Tang, C. (2011). Teaching for quality learning at university: What the student does (4th ed.). Open University Press.

Piaget, J. (1971). The theory of stages in cognitive development. In D. Green, M. Ford, & G. Flamer (Eds.), Measurement and Piaget (pp. 1–11). McGraw-Hill.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.

Frisyi Fauziyah

Dosen Universitas Putra Indonesia

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.