Insiden yang melibatkan Gus Miftah dan penjual es teh bernama Sunhaji di Magelang telah memicu gelombang diskusi yang meluas di ranah digital. Dalam video yang viral, candaan Gus Miftah tentang es teh dianggap merendahkan pekerjaan seseorang. Reaksi masyarakat terhadap kejadian ini tidak hanya berkaitan dengan etika, tetapi juga mencerminkan bagaimana bahasa berfungsi sebagai alat kekuasaan, identitas, dan ideologi.
Es Teh Sebagai Representasi Sosial
Dalam linguistik, benda seperti “es teh” dapat menjadi simbol representasi sosial. Menurut teori semiotika Ferdinand de Saussure, bahasa terdiri atas signifier (penanda) dan signified (yang ditandai). Dalam konteks ini, “es teh” bukan hanya minuman, tetapi juga penanda dari pekerjaan Sunhaji sebagai penjual kecil, yang dalam hierarki sosial kerap dianggap berada di posisi bawah. Ketika Gus Miftah menjadikan pekerjaan ini objek humor, ia tanpa sadar mereproduksi hierarki sosial tersebut, menguatkan stereotip bahwa profesi tertentu kurang bernilai.
Fenomena ini sejalan dengan gagasan Pierre Bourdieu tentang symbolic violence atau kekerasan simbolik, yaitu ketika bahasa digunakan untuk memaksakan dominasi simbolik atas kelompok tertentu. Candaan tentang penjual es teh mengandung unsur kekerasan simbolik karena mengabaikan nilai kerja keras individu yang bergulat dengan ketidakadilan ekonomi.
Humor dan Pragmatik dalam Bahasa
Dalam kajian pragmatik, humor memiliki fungsi sosial untuk mencairkan suasana atau membangun hubungan. Namun, humor yang gagal mempertimbangkan konteks atau penerima pesan berpotensi menjadi bentuk face-threatening act (FTA), atau tindakan yang mengancam wajah seseorang. Penjual es teh dalam kasus ini menjadi subjek yang wajahnya terancam oleh pernyataan yang, meski dimaksudkan sebagai candaan, justru menimbulkan rasa malu atau terhina.
Brown dan Levinson (1987) dalam teori kesantunan mereka menjelaskan bahwa menjaga wajah positif (keinginan untuk dihargai) dan wajah negatif (keinginan untuk tidak dipermalukan) adalah kunci dalam interaksi sosial. Ketika humor melampaui batas, wajah positif penjual es teh—sebagai individu yang bermartabat—terganggu, dan ini memancing reaksi publik yang merasa norma kesopanan dilanggar.
Diskursus Digital
Bahasa yang digunakan netizen untuk merespon kasus ini juga menarik untuk ditelaah. Banyak yang memanfaatkan humor balik untuk mengkritik Gus Miftah, membangun ironi dengan menggunakan kembali istilah “es teh” dalam berbagai bentuk kreativitas seperti meme atau video parodi. Fenomena ini mencerminkan intertextuality, yaitu bagaimana sebuah teks (atau ujaran) diinterpretasi, diolah, dan digunakan kembali dalam konteks baru.
Penggunaan kembali “es teh” dalam wacana digital menunjukkan bahwa netizen mampu mengubah objek yang awalnya menjadi bahan ejekan menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi simbolik. Ini sejalan dengan pemikiran Bakhtin tentang dialogisme, di mana makna dalam bahasa selalu bersifat dinamis dan terpengaruh oleh hubungan kekuasaan antara pembicara dan audiens.
Linguistik dan Etika Berbahasa
Peristiwa ini mengingatkan pentingnya etika dalam berbahasa, terutama bagi tokoh publik. Dalam pandangan linguistik kritis, bahasa tidak pernah netral; ia selalu mengandung ideologi yang bisa memperkuat atau melawan ketimpangan sosial. Gus Miftah, sebagai seorang pendakwah, memiliki tanggung jawab untuk menggunakan bahasa yang tidak hanya komunikatif, tetapi juga memberdayakan audiensnya.
Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, lisan yang baik adalah lisan yang memuliakan. Dalam Islam, bahasa dipandang sebagai cerminan akhlak. Al-Qur’an bahkan memberikan perhatian khusus terhadap ujaran yang baik dalam surah Al-Isra: 53, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik.”
Kesimpulan
Kasus es teh ini membuka diskusi yang lebih luas tentang bagaimana bahasa digunakan dan diinterpretasi dalam konteks sosial. Dari perspektif linguistik, insiden ini menunjukkan bahwa ujaran sederhana seperti “es teh” dapat membawa dampak besar, tergantung pada konteks, niat, dan audiensnya. Di era digital, ujaran publik harus mempertimbangkan tidak hanya efek langsung kepada individu yang dituju, tetapi juga resonansinya di masyarakat luas.
Bahasa, sebagaimana dijelaskan Saussure, adalah sistem tanda yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat. Sebagai tokoh yang memiliki pengaruh besar, Gus Miftah diharapkan untuk lebih bijak dalam memilih kata, karena setiap kata yang diucapkannya memiliki kekuatan untuk membangun atau meruntuhkan.
Referensi:
- Saussure, Ferdinand de. Course in General Linguistics. McGraw-Hill, 1916.
- Brown, Penelope, dan Stephen Levinson. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge University Press, 1987.
- Bourdieu, Pierre. Language and Symbolic Power. Harvard University Press, 1991.
- Bakhtin, Mikhail. The Dialogic Imagination: Four Essays. University of Texas Press, 1981.
- Al-Qur’an, Surah Al-Isra: 53.