Ditulis oleh Siti Sahidah, Pendidikan Bahasa Arab Universitas Djuanda
Filsafat Ilmu adalah bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar – dasar filsafat, asumsi, dan impliksi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan antologi. Filsafat ilmuberusaha menjelaskan masalah – masalah seperti apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melaui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam – macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Anggapan umum pertama tentang filsafat adalah bahwa yang dibahas sebagai hal yang tinggi, terlalu sulir, abstrak dan tidak berkaitan dengan masalah kehidupan sehari – hari. Tak jarang filosof kerap digambarkan sebagai orang yang mempunyai IQ dan intuisi yang jauh melebihi tingkat rata – rata manusia. Filsafat sebenarnya merupakan studi tentang hakikat realitas dan keberadaan, soal apa yang mungkin diketahui serta perilaku yang benar atau salah. Filsafat berasal dari kata Yunani Philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan.
Definisi filsafat
Ada beberapa definisi filsafat menurut para ahli, diantaranya ; menurut W.J.S Poerwadarminta,
Filsafat merupakan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas hukum dan sebagainya daripada segala yang ada dalam alam semesta ataupun mengetahui kebenaran dan arti “adanya” sesuatu. Menurut Bertrand Russel; Filsafat adalah tidak lebih dari suatu usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terakhir, tidak secara dangkal atau dogmatis seperti yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan dalam ilmu pengetahuan. Akan tetapi, secara kritis dalam arti kata: setelah segala sesuatunya diselidiki problema-problema apa yang dapat ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu, dan setelah kita menjadi sadar dari segala kekaburan dan kebingungan, yang menjadi dasar bagi pengertian kita sehari-hari. Sementara itu Immanuel Kant merumuskan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok pangkal dan puncak segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan yaitu: a) Apa yang dapat kita ketahui? Metafisika. b) Apa yang seharusnya dilakukan? Etika. c) Sampai dimanakah harapan kita? Agama. d) Apa hakikat manusia? Antropologi. Immanuel Kant (1724-1804) .
Dengan belajar apa itu filsafat, seseorang akan cenderung berpikir kritis dengan mempermasalahkan hakikat persoalan dan mempertanyakan jawaban yang dikembangkan. Hal itu tentu saja dapat membuat kita lebih arif dan bijaksana, inilah merupakan manfaat utama filsafat. Seperti namanya, filsafat, kita tidak menguasai pengetahuan, kita hanya cinta pada kebijaksanaan. Manfaat lain dari filsafat entah sadar atau tidak membuat kita berpikir, merenung, memilih dan bertingkah laku dan bertindak berdasarkan keyakinan yang kita panuti dan dinilai merupakan permasalahan yang tidak tuntas di jawab hanya dengan tradisi, konvensi, ilmu, atau gabungan semuanya.
Pencarian dan penuntasan masalah itu akan banyak terbantu dengan filsafat. Sebab, filsafat adalah suatu bagian dari keyakinan dan tindakan kita, meskipun kebanyakan hal itu tanpa kita sadari.
Cara berpikir orang cina
Mengenai Filsafat / cara berpikir orang Cina ada sebuah model Filsafat yaitu, Konfusianisme. Teori model filsafat ini adalah Filsafat Konfusianis. Filsafat Konfusianis didirikan oleh Kong Zi, kemudian dilanjutkan oleh Meng Zi. Pemikiran ini mementingkan pentingnya hubungan yang etis serta martabat seorang manusia. Konfusianisme merupakan awal mula dari humanisme Tionghoa. Dua buah ajaran penting Konfusianisme antara lain Ren dan Yi. Ren dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta akan sesama manusia, prinsip hubungan antar manusia. Yi dapat diterjemahkan sebagai kewajiban seseorang terhadap sesamanya. Dalam kata lain menurut Kong Zi jika seseorang dapat mencintai sesama dan memenuhi kewajiban kepada mereka, ia telah melakukan tugasnya dengan baik dalam komunitas. Konfusianisme menjelaskan tahap-tahap untuk menciptakan suatu masyarakat yang makmur. Proses itu dimulai dengan pengembangan diri sendiri yang berlanjut ke peraturan keluarga dan kehidupan bernegara, pendamaian dunia, serta penciptaan persemakmuran yang ideal. Konfusianisme menekankan pengajaran dan pengembangan di dalam sekolah dan lingkungan masyarakat tentang perilaku seseorang yang berbakti. Terutama yang terpenting adalah hubungan yang baik antara orang tua dan anak.
Teori yang kedua adalah pemikiran Mo Zi atau Mojia. Pemikiran Mo Zi atau Mojia, dalam Bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam kata Mohisme menekankan rasa belas kasihan terhadap orang-orang yang menderita akibat peperangan. Ia menganjurkan agar dihentikannya peperangan antar negara dan agar rakyat dapat hidup damai. Ia merupakan penganjur kehidupan yang sederhana dan menentang bentuk kehidupan yang penuh dengan kemewahan.
Yang ketiga adalah teori Taoisme. Pemikiran Taois yang bersifat naturalisme diajarkan oleh Lao Zi dan Chuang Zi. Mereka percaya bahwa semua penderitaan manusia diakibatkan oleh kebodohan mereka sendiri. Orang-orang harus hidup dalam kedamaian penuh tanpa aksi, mencocokkan hidup mereka dengan jalannya alam yang alami. Jika mereka dapat hidup menurut aturan alam, mereka tidak perlu khawatir tentang semua hal dan semua masalah dapat diatasi tanpa banyak upaya. Metode ini disebut kaum Taois sebagai “aksi dengan tanpa aksi”.
Yang terakhir adalah Pemikiran Han Fei Zi. Pemikiran Han Fei-zi dinamakan juga Filsafat Legalis (Fa Jia). Ia mengajarkan tentang pengejaran hasil yang bersifat material dan nyata. Kepada para penguasa ditanamkannya upaya untuk mengejar prestasi dari orang-orang yang memiliki jabatan pemerintahan dan membagikan hadiah dan hukuman dengan tegas. Efisiensi dalam pemerintahan merupakan hal yang diutamakan dan kadang-kadang harus mengambil cara apapun untuk mencapai hal tersebut.
Filsafat Cina dikembangkan berdasarkan paradigma Antologis, epistemologis, dan metafisik yang berbeda dari wacana teoretis Barat. Konsep dan kategori yang digunakan dalam filsafat Cina tidak dapat dengan mudah ditransfer dari satu konteks sosial-budaya ke yang lain, dan seringkali sulit untuk memahami filsafat ini melalui kacamata pemikiran Barat tradisional.
Dengan demikian, penerapan metode Barat secara eksklusif dapat menyebabkan kesalahpahaman yang parah dan interpretasi yang salah atas wacana Cina. Karena itu penting untuk menggunakan kehati-hatian agar tidak mengurangi kekayaan dan kedalaman pemikiran Cina atau mengubahnya menjadi versi yang lemah dari pemikiran filosofis Barat.
Dimensi epistemologis dari teks-teks Cina dan perannya dalam konteks pemikiran Cina telah semakin berhasil dikembangkan di bawah naungan menemukan kembali dan menerapkan pendekatan dan kategori metodologis tradisional Tiongkok yang spesifik. Entri ini mengeksplorasi atau menjelajahi epistemologi Tiongkok melalui lensa aset konseptual dan ideasional yang dibuat dan dikembangkan dalam tradisi Cina
Menurut epistemologi tradisional Eropa yang berlaku, pengetahuan terutama diperoleh melalui observasi dan penalaran. Namun, dalam pemikiran Cina tradisional, pengetahuan telah dipahami dalam arti yang jauh lebih luas, yaitu sebagai sesuatu yang (atau terutama) berasal dari isi moral dan yang tidak dapat dipisahkan dari praktik (sosial).
Metode yang menentukan sebagian besar ajaran epistemologis yang ditemukan dalam klasik Cina didasarkan pada pandangan dunia holistik, dan diarahkan menuju pemahaman yang dapat dicapai melalui pendidikan dan pembelajaran. Isi dasar dari ajaran-ajaran ini berakar pada premis etika pragmatis dan utilitarian.
Menurut Roker pada tahun 2012, Epistemologi Tionghoa bersifat relasional artinya ia memahami dunia luar yang akan ditata secara struktural, sementara pikiran manusia terstruktur sesuai dengan sistem organik merangkul semua yang terbuka tetapi terbuka. Korespondensi relasional antara struktur kosmis dan mental dengan demikian merupakan prasyarat dasar dari persepsi dan pemahaman manusia.
Dalam filsafat Cina klasik makna kata Cina secara harfiah merujuk pada hati fisik, tidak terbatas pada konotasi yang umum. Tidak seperti definisi Barat, pemahaman metaforis Tiongkok tentang gagasan ini tidak hanya menunjukkan organ ini sebagai pusat emosi, tetapi sebagai pusat persepsi, pemahaman, intuisi, dan bahkan pemikiran rasional.
Karena orang Cina kuno percaya hati adalah pusat kognisi manusia, gagasan xin paling sering diterjemahkan sebagai “hati-hati” dalam wacana filosofis. Pemahaman ini ditentukan oleh tidak adanya perbedaan antara kondisi kognitif (gagasan representatif, penalaran, keyakinan) dan afektif (sensasi, perasaan, keinginan, emosi).
Dalam epistemologi Cina klasik, kesadaran diri setiap orang didasarkan pada pemahaman holistik tentang dunia, yang disusun sebagai hubungan interaktif antara manusia dan alam (tianren heyi); Kesatuan semua makhluk kosmik dilihat dari segi keutuhan organismik dan dinamis dari alam dan masyarakat. Oleh karena itu, kesadaran diri sebagai dasar dari segala jenis pemahaman berasal dari kesadaran diri sendiri tertanam secara organik dan terjalin dengan (rasional) struktur kosmik konstitutif tak pasti. Pikiran-hati yang mewakili bagian penting dari kesadaran-diri ini, secara bawaan dilengkapi dengan struktur dasar pengakuan (moral).
Asal usul tradisi ini jauh, dan mencapai jauh ke masa sebelum sejarah intelektual pra-Qin. Pikiran-hati manusia tidak hanya ditempatkan sebagai pusat konsep pikiran atau kesadaran dan dengan demikian sumber dari kedua emosi dan penalaran, tetapi dianggap sebagai semacam organ indera oleh orang Cina kuno.
Memang, Mengzi (372/289 SM) kadang-kadang bahkan memandangnya sebagai organ indera utama, yang bertanggung jawab untuk memilih dan menafsirkan sensasi yang dikirimkan kepadanya oleh organ indera lainnya. Dengan kata lain, sementara yang terakhir memungkinkan persepsi, pikiran-hati memungkinkan pemahaman realitas eksternal atau bagian realitas yang ditransmisikan oleh organ-organ indera.
Di Guanzi, sebuah karya filosofis yang dianggap berasal dari politisi legalis Guan Zhong (abad ke -7 SM, meskipun mungkin berpacaran jauh kemudian) fungsi utama pikiran tidak hanya merujuk pada organ-organ indera, tetapi ke semua organ utama lainnya seperti misalnya usus atau kandung kemih. Belakangan, pendekatan semacam itu merupakan ciri khas para sarjana legalis, yang menetapkan konsep hierarki Konfusianisme di atas dasar absolut. Khotbah-khotbah seperti itu mengingatkan hubungan antara tubuh (inferior) dan roh (superior).
Namun, dalam teks-teks filosofis Tiongkok awal, mendengar dan melihat tampaknya dianggap sebagai indera yang paling penting karena mereka memainkan peran yang paling signifikan dalam memperoleh pengetahuan (Geaney 2002).
Namun, hubungan yang tidak pasti antara bahasa dan pemikiran bukanlah jalan satu arah dan, pada kenyataannya, potensi komunikatif bahasa terperangkap di jembatan sempit antara pembicara dan pendengar, antara pemancar dan penerima. Oleh karena itu, Zhuangzi percaya bahasa tidak dapat dipisahkan dari pemahaman; pada dasarnya, mereka memiliki kualitas yang sama. Akibatnya, semua batas yang ditentukan secara linguistik dalam realitas yang terstruktur secara holistik, pada kenyataannya, salah, karena bahasa tidak dapat mengekspresikan dirinya. Sama seperti dao dalam fungsi aslinya dari esensi fundamental, yang mencakup semua makhluk, dan seperti pengakuan kita terhadap jalan asli ini, bahasa itu sendiri mutlak dalam arti kesatuan dari semua kontradiksi relatif yang dikomposisikan.
Daftar Pustaka
- https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_ilmu
- https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Tionghoa
- https://www.merdeka.com/jabar/apa-itu-filsafat-menurut-para-ahli-berikut-manfaatnya-dalam-kehidupan-kln.html?page=1
- https://www.kompasiana.com/balawadayu/5e2c1613d541df0a34757e24/rerangka-pemikiran-filsafat-cina-1?page=all