Ditulis oleh Arif Hidayat, Universitas Nusa Mandiri
Contents
Temuan Bahasa sebagai Alat Komunikasi pada Masa Kerajaan
Masa kerajaan di Indonesia dapat dikatakan titik awal penelusuran temuan-temuan bahasa. Sewajarnya sesama masyarakat kerajaan memiliki bahasa untuk saling berkomunikasi satu dengan lainnya. Tak hanya sesama masyarakat lingkungan kerajaan, komunikasi juga terjadi antar masyarakat lintas kerajaan. Untuk itu mereka memiliki keserupaan dalam berbahasa.
Pembuktian keserupaan bahasa itu tertuang dalam prasasti. Prasasti adalah peninggalan tertulis yang terdapat pada batu. Prasasti-prasasti yang ditemukan antara lain 1) Prasasti Kedukan Bukit di Palembang tahun 683; 2) Prasasti Talang Tuo di Palembang tahun 684; 3) Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat tahun 686; 4) Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi tahun 688; 5) Prasasti Gandasuli di Jawa Tengah tahun 832; 6) Prasasti Bogor di Bogor tahun 942.
Prasasti nomor satu hingga empat terdapat di pulau Sumatera, sedangkan nomor lima dan enam terdapat di pulau Jawa. Keenam prasasti tersebut merupakan bukti atas kebenaran adanya komunikasi menggunakan bahasa Melayu kuno yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Melayu pada temuan prasasti tersebut mengandung bahasa kebudayaan yang mengatur aturan hidup dan yang menjelaskan kesusastraan, bahasa perhubungan antar suku khususnya di pulau Jawa dan Sumatera, dan bahasa perdagangan yang digunakan para pedagang di pesisir pantai serta pelabuhan-pelabuhan.
Penetapan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan
Perkembangan bahasa Melayu baik dari budaya maupun perdagangan yang tumbuh di masyarakat memerlukan kesamaan untuk menjadi sebuah bahasa persatuan. Pemilihan bahasa melayu sebagai akar tentunya melalui tahapan-tahapan penyesuaian. Penyesuaian tersebut antara lain 1) bahasa Melayu telah menjadi bahasa perhubungan pada bidang kebudayaan dan perdagangan, 2) sistem bahasa Melayu sederhana dan mudah dipelajari dan tidak ada tingkatan bahasa.
Proses penyebaran bahasa Melayu ke beberapa daerah selain dari hubungan perdagangan, juga dibantu dari penyusunan ejaan resmi bahasa Melayu tahun 1901 oleh Ch. A. van Ophuijsen. Lalu, pemerintah turut menerbitkan sejumlah badan penerbitan buku-buku bacaan tahun 1908. Puncaknya saat Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 dengan pengikraran bersama yang selanjutnya disebut Sumpah Pemuda.
Adapun keputusan kongres pemuda 1928 terdiri atas tiga butir. Pertama, Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua, Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga, Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Butir pertama tersebut di atas mengandung makna adanya pengakuan bahwa jajaran pulau-pulau yang membentang merupakan wilayah Republik Indonesia adalah tanah air Indonesia. Butir kedua mengandung makna adanya pengakuan bahwa setiap individu yang menempati bumi Indonesia juga merupakan kesatuan yang disebut bangsa Indonesia. Butir ketiga mengandung makna ketekadan untuk menjunjung bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia.
Inilah embrio bahasa Indonesia yang kerabat kenal hingga sekarang. Boleh dikatakan tahun 1928 merupakan tekad sekaligus impian bahwa tahun mendatang Indonesia menjadi sebuah negara kesatuan. Sekaligus tetap mempertahankan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sebelum kemerdekaan, saat kemerdekaan tahun 1945 dan pasca kemerdekaan hingga saat ini.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Sebagai sebuah negara yang berdaulat, Indonesia memerlukan bahasa yang memiliki kedudukan dan keberfungsian. Kedudukan dan keberfungsian bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tertuang dalam butir sumpah pemuda 1928. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara tertuang dalam UUD 1945.
Sumpah Pemuda Pertama, Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua, Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga, Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. (1928)
“Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”
UUD 1945 pasal 36
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki empat fungsi yakni 1) lambang kebanggan kebangsaan. Bahasa Indonesia diyakini mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan; 2) lambang identitas nasional. Selama masyarakat Indonesia setia menggunakan bahasa Indonesia itulah petanda keidentitasan nasional masyarakat tersebut; 3) alat perhubungan antar warga, antar daerah dan antar suku bangsa. Bahasa Indonesia telah menjadi solusi atas kesalahpahaman yang terjadi akibat perbedaan latar belakang, sosial dan budaya; dan 4) alat pemersatu. Bahasa Indonesia memungkinkan antar suku bangsa mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu.
Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai 1) bahasa resmi kenegaraan. Pemakaian bahasa Indonesia terdapat pada upacara, peristiwa dan kegiatan kenegaraan dalam bentuk lisan maupun tulisan; 2) bahasa pengantar lembaga pendidikan. Setiap daerah di wilayah Republik Indonesia mewajibkan lembaga pendidikan membiasakan peserta didik untuk berbahasa Indonesia sejak pendidikan dasar; 3) alat hubung. Bahasa Indonesia dipakai untuk kepentingan perencanaan dan pembangunan nasional; dan 4) alat pengembang kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi tersebar melalui bahasa Indonesia sehingga mempercepat pencapaian tujuan negara.
Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia
Ejaan van Ophuijsen
Tahun 1901 merupakan tahun penetapan ejaan bahasa Melayu dengan huruf latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen. Sekurangnya ada tiga (3) perancang ejaan tersebut antara lain van Ophuijsen, Soetan Ma’moer dan Mohammad Taib Soetan Ibrahim. Karakteristik yang umum ejaan van ophuijsen ini antara lain a) huruf “j” untuk menuliskan kata “jang”, “pajah”, “sajang.” b) Huruf “oe” untuk menuliskan kata-kata “goeroe”, “itoe”, “oemoer.” c) Tanda diakritik, seperti apostrof (‘) untuk menuliskan kata ma’moer, ‘akal, ta’, pa’, dinamai’
Ejaan Soewandi
Tahun 1947, tertanggal 19 Maret, ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini muncul 2 tahun setelah Indonesia merdeka. Ejaan Soewandi juga memiliki nama lain yakni Ejaan Republik.
Ejaan Soewandi mengganti beberapa hal dari ejaan van Ophuijsen seperti a) huruf “oe” diganti dengan “u” misalnya pada kata guru, itu, umur. b) tanda apostrof yang terdengar seperti bunyi sentakan ditulis dengan huruf “k” misalnya pada kata pak, tak, maklum, rakjat. c) kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti anak2, berjalan2, kebarat2an. d) Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.
Ejaan Melindo
Tahun 1959 pernah diselenggarakan sidang perutusan Indonesia dan Melayu yang dipimpin oleh Slamet Mulyana Syeh Nasir bin Ismail guna menetapkan ejaan bersama yang dikenal dengan ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Namun ejaan Melindo belum sempat diresmikan akibat perkembangan politik di Negara Indonesia yang kurang stabil.
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Tahun 1972, tanggal 16 Agustus, ejaan bahasa Indonesia diresmikan berdasarkan Putusan Presiden no 57, tahun 1972. Melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Soeharto menginginkan pemercepatan informasi sekaligus pembukuan ejaan agar segera dipakai oleh seluruh warga negara Indonesia. Buku tersebut berjudul Pedomab Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Hal-hal yang tertuang pada buku tersebut merupakan penggantian beberapa huruf dan tata cara penulisan.
Huruf “dj” pada ejaan Soewandi berubah menjadi “j” misalnya jalan, jauh.
Huruf “j” menjadi “y” misalnya payung, layu.
Huruf “nj” menjadi “ny” misalnya nyonya, bunyi.
Huruf “sj” menjadi “sy” misalnya isyarat, masyarakat
Huruf “tj” menjadi “c” misalnya cukup, cuci
Huruf “ch” menjadi “kh” misalnya khayalan, akhir
penulisan huruf di- sebagai awalan dan di sebagai kata depan dibedakan misalnya di sebagai awalan antara lain ditulis, dibakar, dipikirkan. Sedangkan di sebagai kata depan antara lain di kampus, di rumah, di jalan.
Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak boleh menggunakan angka, misalnya anak2 menjadi anak-anak
PUEBI
Pada tanggal 30 November 2015, Permendiknas 46/2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku karena digantikan oleh Permendikbud 50/2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Hidayat, A (2021, Juli 2). Mengenal Lebih Jauh Bahasa Indonesia. Retrieved from https://mitrapalupi.com/mengenal-lebih-jauh-bahasa-indonesia/