oleh Fachri Helmanto
Contents
Pendahuluan
Rasanya mendengar kata Jakarta dalam sebuah obrolan memberikan jarak dan kesan yang berbeda-beda di tiap orang. Jarak yang dimaksud merupakan anggapan orang lain betapa beruntungnya orang-orang yang tinggal di Jakarta. Gambaran kehidupan orang Jakarta identik dengan upaya pencaharian ekonomi, terhitung dari kelas ekonomi atas hingga ekonomi super bawah.
Tapi mohon maaf, bicara kehidupan ekonomi Jakarta rasanya bukan bidang keahlian penulis. Tulisan kali ini akan mengupas Jakarta melalui sudut pandang budaya tradisi.
Sejarah Jakarta
Sejarah Jakarta dimaknai sebagai rekam jejak terdahulu atas perkembangan kota ini. Usia Jakarta per 22 Juni 2021 sudah mencapai 494 tahun. Jikalau manusia saat ini ada yang berumur panjang, manusia tersebut sudah sangat tua dan menjadi sorotan dunia. Tentu saja kota Jakarta juga merupakan sorotan bagi masyarakat Indonesia.
Kisah kesejarahan Jakarta sangat mudah didapat dari berbagai sumber. Rerata mengisahkan perubahan nama dari masa ke masa. Setidaknya ada 13 penamaan yang telah diberikan kepada kota ini. Nama-nama tersebut antara lain
Silsilah Penamaan Kota Jakarta
Sunda Kelapa
Sunda Kelapa atau lebih dikenal sebagai Pasar Ikan merupakan sebuah pelabuhan tua. Pelabuhan Sunda Kelapa sejatinya sudah ada sejak abad ke-5 dan merupakan pelabuhan yang berada dibawah kepemilikan Kerajaan Tarumanegara. Namun pada abad ke-12 berpindah tangan menjadi milik Kerajaan Sunda.
Jayakarta
Sunda kelapa berfungsi sebagai pusat niaga para pedagang lokal dan asing seperti Tiongkok, Arab, India, Inggris dan Portugis. Bangsa Portugis bahkan membangun relasi dengan Kerajaan Sunda hingga diizinkan membuat kantor dagang di sekitar pelabuhan. Mengetahui adanya upaya kerjasama Portugis dan Kerjaan Sunda yang dikhawatirkan menggangu sabilitas niaga. Pada 22 Juni 1527,pasukan gabungan Kesultanan Demak-Cirebon dibawah pimpinan Fatahillah menyerang dan berhasil menguasai Sunda Kelapa dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Stad Batavia
pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun De Heeren Zeventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang orang Batavia. Selanjutnya diresmikan dengan naam Stad Batavia tertanggal 4 Maret 1621.
Gemeente Batavia
Pada 1 April 1905 nama Stad Batavia diubah menjadi Gemeente Batavia
Stad Gemeente Batavia
Pada 8 Januari 1935 nama kota ini diubah lagi menjadi Stad Gemeente Batavia
Betshu Shi
Masa penjajahan Jepang, peninggalan Belanda harus dimusnahkan bahkan nama Stad Gemeente Batavia diganti menjadi Jakarta Toko Betshu Shi
Pemerintah Nasional Kota Jakarta
September 1945, setelah Jepang tak lagi menduduki Indonesia, nama Jakarta Toko Betshu Shi berganti menjadi Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
Stad Gemeente Batavia
Ketika masa pemerintahan Pro Federal pada 20 Februari 1950, nama Stad Gemeente Batavia kembali dipakai
Kota Praja Jakarta
Kemudian pada 24 Maret 1950, nama Stad Gemeentar Batavia berubah menjadi Kota Praja Jakarta.
Kota Praja Jakarta Raya
Saat Jakarta menjadi daerah swatantra atau daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri, nama Kota Praja Jakarta berubah menjadi Kota Praja Djakarta Raya.
Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya
Sesuai dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No.2 PNPS 1961 Kota Praja Djakarta Raya berubah menjadi Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya.
Jakarta
UU No.10 tahun 1964 menyatakan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap menjadi ibu kota Negara Republik Indoneia dengan nama Jakarta pada 31 Agustus 1964
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Terakhir, menurut UU No. 34 tahun 1999 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, menyatakan bahwa nama pemerintah daerah diganti menjadi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Jakarta Vs Pandemi
Secara nyata tentulah belenggu pandemi yang tak kunjung berujung telah berdampak hebat pada kehidupan masyarakat perkotaan seperti Jakarta. Persoalan seputar kesejahteraan sosial menjadi salah satu yang paling babak belur dihantam pandemi. Faktor penyebab langsung yang berdampak kondisi kesejahteraan tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh masifnya pengangguran yang muncul selama pandemi. Lain dari itu, melesunya geliat usaha dan berbagai roda penggerak ekonomi masyarat juga memperparah kondisi kesejahteraan warga megapolitan tersebut.
Berbagai intervensi terus diupayakan untuk dapat mengembalikan putaran roda Megapolitan Jakarta sebagai naungan bagi puluhan juta manusia yang menggantungkan hidupnya. Sejumlah bantuan langsung pun telah dikucurkan untuk mengurangi beban masyarakat kurang mampu, mulai dari bantuan langsung tunai ataupun sembako, hingga insentif modal bagi para pelaku usaha mikro dan kecil.
Adaptasi Seniman Saat Pandemi
Industri seni pertunjukan Indonesia mengalami guncangan hebat akibat dampak global pandemi corona. Banyak seniman tergerus Covid-19 akibat pembatalan pertunjukan dan festival seni. Karakteristik seni pertunjukan identik dengan “ruang pentas” yang terdominasi secara fisik seperti gedung seni pertunjukan, studio mini, lapangan, hingga ruang-ruang terbuka alternatif. Masa pandemi ini membuat seniman pertunjukan harus berkompromi jika tidak ingin hancur.
Mengubah medium ruang pentas tersebut menjadi daring (online) jelas membuat seniman pertunjukan harus dan rela melakukan rekonsep kembali akan daya artistiknya terhadap ciptaannya agar sesuai dengan atmosfir online. Unsur estetika pun akhirnya terkoreksi tajam. Alhasil kualitas karya rentan berubah derajatnya. Jarak penonton dan seniman pertunjukan yang harus dikalkulasi cermat jelas terpisahkan oleh sekat layar digital layaknya pada gawai, laptop, dan televisi.
Tantangan yang muncul kemudian ialah ketercukupan akses data internet agar tampilan tidak malah tersendat atau tetap dapat diakses hingga akhir pertunjukan demi tersampaikannya pesan. Migrasi besar-besaran dari dimensi luring (offline) menuju online dalam konteks live show pada berbagai lini seni petunjukan terasa berat.
Dimensi lain yang menarik diperhatikan ialah product knowledge sang seniman dalam memainkan sistem online beserta perilaku penonton penikmatnya. Tontonan seni pertunjukan jelas lebih terasa murni dan menyentuh ketika dilihat langsung menampilkan sudut pandang luas. Kini dipaksa mengecil sehingga berpotensi membuat penonton kehilangan hasrat menikmati pertunjukan. Siasat rekaman (tapping) menjadi opsi, tetapi jelas memunculkan dilema tersendiri karena berpotensi menjadikan seni pertunjukan malah menyerempet ke dimensi seni film atau bahkan terkesan dokumentasi semata. Dengan kata lain, terdapat ruang kreativitas keluaran seni pertunjukan yang menjadi terbatas ketika harus berbalut dengan sistem daring.
Seni disikapi dengan tenaga berbatas waktu; disikapi dengan ilmu berbatas kepuasan; disikapi dengan kehakikatan ilahi tiada berbatas; maka percayalah seni senantiasa hidup.
Fachri ‘Yabui’ Helmanto
Helmanto, F (2021, Juni 22). Jakarta Bangkit [Webpage]. Retrieved from https://mitrapalupi.com/jakarta-bangkit/
Bagus
Tulisan nya menarik saya suka
36. Konsep Filosofis dan Religius Islam (salsabila)
Good