Ditulis oleh Siti Nadilah, Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Djuanda
Pengetahuan Manusia Untuk Mencapai Kebenaran
Sejak dahulu sesungguhnya masalah kebenaran senantiasa selalu menyertai setiap kegiatan ilmiah. Hal ini karena apa yang dinamakan ilmu pengetahuan baik sebagai suatu sistem maupun sebagai proses kegiatan manusia senantiasa ditujukan untuk mencapai kebenaran.(1) Jika diperhatikan maka hal-hal yang hendak dibahas dalam epistemologi antara lain adalah tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas pengetahuan, sifat pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, kesahihan (validity) pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.(1)Semakin jelas bahwa kebenaran merupakan salah satu hal yang selalu ingin dicari dalam dunia ilmu pengetahuan, selain ilmu pengetahuan terdapat juga cara untuk mencapai atau meningkatkan kebahagiaan umat manusia. Bahwa kebenaran merupakan salah satu permasalahan. (1) Permasalahan tersebut dengan aspeknya yang beragam dapat disarikan dalam dua masalah pokok, yaitu sumber pengetahuan atau benarnya pengetahuan” (Sidi Gazalba, 1981: 118-119).
Dengan demikian, masalah kebenaran selalu mewarnai dinamika pengetahuan. Tentang masalah kebenaran, dapat ditinjau secara objektivistik, kebenaran itu merupakan suatu keadaan yang menunjukkan adanya kesesuaian antara isi pikiran manusia tentang suatu objek tertentu dengan kenyataan yang sesungguhnya dari objek itu. Jika ditinjau secara subjektivistik, kebenaran itu merupakan suatu proses yang menggambarkan mengenai adanya keruntutan antara cara/jalan berpikir manusia tentang suatu objek tertentu. Selain itu juga ditinjau secara subjektivistik, khususnya ditinjau secara subjektivistik-pragmatik, kebenaran itu merupakan sebuah proses yang menggambarkan bahwa pemikiran manusia mengenai suatu objek tertentu dapat diambil manfaatnya bagi penyelesaian sesuatu masalah hidup. Dengan demikian berarti jika berbicara mengenai masalah kebenaran setidaknya didapati tiga macam pengertian yang dikandung oleh istilah tersebut, yaitu kebenaran teoritik-objektivistik, kebenaran teoritik-subjektivistik, dan kebenaran pragmatik-subjektivistik (2)
Dari uraian tersebut dapatlah dikatakan bahwa setiap langkah manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam tingkatan pertama sudah mempunyai landasan yang bersifat teoritik-subjektivistik, dan dalam tahapan yang tertinggi masih pula dilandasi oleh suatu pemikiran yang bersifat teoritik-objektivistik. Dalam kaitannya dengan masalah kebenaran, pada dasarnya ada tiga macam teori, yaitu teori kebenaran koherensi, teori kebenaran korespondensi, dan teori kebenaran pragmatik. Teori kebenaran koherensi mengatakan bahwa kebenaran itu merupakan suatu proses atau suatu hasil proses atau keadaan yang menunjukkan adanya keadaan yang runtut, yang masuk akal, yang saling berhubungan antara gagasan-gagasan yang dimiliki oleh seorang subjek mengenai suatu objek tertentu.(2)
Dengan perkataan lain jika orang mengatakan bahwa suatu pendapat mengenai sesuatu hal itu benar, maka ciri-ciri pokoknya dari pendapat semacam itu ialah harus bersifat runtut, harus masuk akal dan gagasan-gagasan yang mendukungnya harus saling berhubungan. Harus bersifat runtut, karena di antara gagasan yang mendukung pendapat yang bersangkutan tidak boleh menjadi suatu pertentangan. Harus bersifat masuk akal atau logis, karena penalarannya harus didasarkan secara ketat atas hukum hukum berpikir, seperti yang diajarkan dalam logika. Dikatakan harus koheren, karena di antara gagasan-gagasan tersebut bukan hanya harus terdapat suatu keadaan yang bersifat saling berhubungan secara fungsional (2)
Teori Koherensi
Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan putusan itu sendiri. Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. (1)
Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran. Misal, Semua manusia membutuhkan air, Ahmad adalah seorang manusia, Jadi, Ahmad membutuhkan air. Suatu proposisi itu cenderung benar jika proposisi itu coherent (saling berhubungan) dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh proposisi coherent sesuai dengan pengalaman . (1)
Bakhtiar sebagai mana dikutip dari Aholiab Watholi, memberikan standarisasi kepastian kebenaran dengan sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian, dimana satu keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya sehingga disebut pengetahuan. Pertama, pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi. Keempat, pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, di mana hal itu di artikan sebagai kepastian yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan lagi. Berbeda dengan teori korespondensi yang dianut oleh penganut realism dan matrealisme, teori koherensi atau konsistensi ini berkembang pada abad ke-19 dibawah pengaruh hegel dan diikuti oleh pengikut madzhab idealisme. Diantaranya seorang filsuf (1)
Dealisme epistemologi berpandangan bahwa obyek pengetahuan, atau kualitas yang di serap dengan indera itu tidaklah berwujud, terlepas dari kesadaran tentang objek tersebut. Karenanya, teori ini lebih sering disebut dengan istilah subjektivisme. Pemegang teori ini, atau kaum idealism berpegang, kebenaran itu tergantung pada orang yang menentukan sendiri kebenaran pengetahuannya tanpa memandang keadaan real peristiwa-peristiwa. Manusia adalah ukuran segala-galanya, dengan cara demikianlah interpretasi tentang kebenaran telah dirumuskan kaum idealisme. Kalau ditimbang dan dibandingkan dengan teori korespondensi, teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima secara luas dibandingkan teori pertama tadi. (1)
Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan dinyatakan kebenaran apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya sehingga dapat diterima dan di ketahui kebenarannya. (1)
Dua masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah:
- Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anak mengacak-acak pekerjaan” dan “anjing mengacak-acak pekerjaan ” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja.
- Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan !”, akan dianggap salah karena tidak konsisten dengan kepercayaan yang dipegang. Sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, semua orang juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.(2)
Dua masalah ini lahir karena adanya pertentangan keyakinan, moral maupun ketidak sanggupan untuk mengecek sebuah pernyataan yang sudah dilontarkan dengan keadaan lapangan atau hal yang dialami sehingga tingkat konsistensinya rendah bahkan berat untuk dipertanggungjawabkan. Pembuktian secara berulang-ulang pada teori korespondensi pada akhirnya akan melahirkan sebuah aksioma atau postulat yang pada umumnya berwujud sebagai kebenaran umum (general truth). Matahari terbit dari arah timur. (2)
Pernyataan tersebut merupakan sebuah kebenaran umum karena sudah diyakini benar. tidak perlu menunggu hingga esok pagi untuk membuktikan secara faktual bahwa matahari benar-benar terbit dari ufuk timur. Aksioma atau postulat adalah sebuah pernyataan yang dianggap sudah terbukti benar dan tidak perlu dibuktikan lagi. Karena sifat itulah ia dijadikan sebagai dasar dalam disiplin ilmu matematika dan bisa digunakan untuk membuktikan apakah pernyataan lain benar atau tidak. Menurut teori koherensi, sebuah pernyataan bisa dianggap benar hanya jika pernyataan itu koheren atau tidak bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang sudah terbukti benar. Untuk dianggap benar, teori ini mensyaratkan adanya konsistensi atau tidak adanya pertentangan (kontradiksi) antara suatu pernyataan dengan aksioma.
Karena itulah teori koherensi dikenal juga sebagai teori konsistensi. Sebagai contoh, di dalam disiplin ilmu matematika terdapat postulat bahwa jumlah sudut semua jenis bangun ruang segitiga berjumlah 180°. Jika ada satu pernyataan bahwa terdapat satu bentuk segi tiga yang jumlah sudutnya 210°, maka tanpa harus menyaksikan bukti faktual segitiga tersebut kita bisa menyatakan bahwa pernyataan orang tersebut tidak benar karena ia bertentangan dengan ostulat. Pernyataan orang tersebut memiliki kontradiksi dengan postulat yang sudah ada. (2)
Perbedaan teori ini dengan teori korespondensi terletak pada dasar pembuktian kebenaran. Pada teori korespondensi dasar kebenarannya pada ada tidaknya hubungan antara pernyataan dengan fakta yang ada, sedangkan pada teori koherensi pembuktiannya terletak pada ada tidaknya konsistensi antara pernyataan dengan postulat. Contoh lainnya, seseorang memberi pernyataan bahwa di dalam kolam alun-alun kota terdapat seekor ikan hiu yang masih hidup. Menurut teori korespondensi, untuk menentukan pernyataan tersebut benar atau tidak, kita harus menunggu fakta apakah di dalam kolam tersebut terdapat seekor ikan hiu yang masih hidup atau tidak. Sementara menurut teori koherensi, tanpa menunggu fakta, kita bisa menentukan pernyataan orang tersebut tidak benar karena bertentangan dengan aksioma yang sudah ada sebelumnya bahwa ikan hiu adalah jenis ikan air asin (laut). Tidak logis jika ikan air asin bisa hidup dalam air kolam alun-alun kota yang merupakan kolam air tawar.(2)
Kebenaran yang dianut seseorang menuntunnya untuk mencari dan menemukan serta meyakinkan tentang sesuatu yang benar . Oleh karena itu diperlukan ilmu untuk membawa manusia menuju kebenaran absolut.
Untuk bisa menemukan sebuah kebenaran bisa dilakukan dengan berbagai cara atau berbagai teori salah satu teorinya yaitu teori koherensi Dan jika ingin menggunakan teori koherensi dalam menemukan kebenaran maka harus benar benar memahami dan mengerti, karena banyak kekurangan dalam teori ini. Jangan sampai menyesal dalam memilihnya, teori ini identik dengan konsistensi dalam penerapannya
Refrensi
- Siregar S. Pengertian Kebenaran. J Akunt Multiparadigma. 2016;7(1):81–90.
- Budisutrisna B. Komparasi Teori Kebenaran Mo Tzu Dan Pancasila: Relevansi Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Di Indonesia. J Filsafat. 2016;26(1):1.
Nadilah, S. (2021, Juni 28) Dalam pencarian kebenaran menggunakan teroi koherensi [webpage]. Retrieved from https://mitrapalupi.com/dalam-pencarian-kebenaran-menggunakan-teori-koherensi/
Pingback: Filsafat – Mitra Palupi