Analisis Sastra Seni Retorika oleh Plato

0
(0)

Ditulis oleh Dewi Rusydatul Fauziah, Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Djuanda

Hakikat Sastra Seni Retorika

Kemampuan berbicara merupakan kemampuan berkomunikasi manusia yang dibawa sejak lahir. Sejak lahir manusia sudah berkomunikasi dengan cara menangis saat bayi, dan kemudian kemampuan berkomunikasinya semakin meningkat seiring dengan waktu. Sebagian besar komunikasi yang dilakukan oleh manusia berupa komunikasi secara lisan, salah satunya dengan retorika. 

Secara sempit retorika hanya meliputi seni berbicara, sedangkan secara luas retorika mengenai penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Pengertian yang umum diketahui di masyarakat adalah pengertian retorika secara sempit, dimana retorika hanya meliputi seni berbicara. 

Pandangan Retorika terhadap Kegiatan Berbicara Kegiatan berbicara pada dasarnya mempunyai pola yang sama dengan berbagai tingkah laku manusia lainnya. Alasannya karena berbicara merupakan perwujudan dari tingkah laku manusia. Kegiatan berbicara dalam pandangan retorika tidak lain adalah wujud verbal dari tindakan atau tingkah laku memusia. Kegiatan berbicara biasanya berlangsung di suatu medan atau tempat tertentu, ditampilkan oleh seorang pembicara dengan cara-cara dan alat-alat tertentu, dan dilatarbelakangi oleh suatu motif tertentu. Yang menjadi motif inti dari motif-motif yang lainnya adalah dorongan dari dalam diri si pembicara untuk mewujudkan suatu tempat di mana ia bisa mendapatkan posisi yang diidam-idamkannya.

Sehubungan dengan pengaruh bahasa, retorika dapat digunakan oleh manusia dalam mengembangkan bakat-bakat tertingginya, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa yang selanjutnya memberikan kemampuan berkomunikasi kepada manusia agar dapat menuangkan isi pikirannya secara jelas.

Retorika menjadi mata ajar poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan (Rakhmat, 2007: v). Kemampuan bicara bisa merupakan bakat. Namun, kepandaian bicara yang baik memerlukan pengetahuan dan latihan. Orang sering memperhatikan cara dan bentuk pakaian yang dikenakannya, agar kelihatan pantas, tetapi ia sering lupa memperhatikan cara dan bentuk pembicaraan yang diucapkannya supaya kedengaran baik. 

Sekelumit mengenai Retorika 

Hornby dan Parnwell (1961; 364) mengartikan istilah “retorika” sebagai seni penggunaan kata-kata secara mengesankan, baik lisan maupun tulisan, atau berbicara dengan menggunakan pertunjukan dan rekaan di depan orang banyak. Dengan penekanan pada aspek seni, retorika jelas berbeda dengan bentuk atau cara berbicara lainnya. Dalam hal ini, berbicara dengan menggunakan seni mengandung maksud agar cara berbicara lebih menarik (atraktif), bernilai informasi (informatif), menghibur (rekreatif), dan berpengaruh (persuasif).

Pada zaman pertengahan dan renaisan (Renaissance), retorika lebih dikenal sebagai studi sastra. Salah satu kemungkinan yang melatarbelakangi anggapan ini adalah pandangan umum dari zaman pertengahan yang mengatakan bahwa hanya karya sastralah yang memakai bahasa yang baik. Karena itu, jika orang ingin mengetahui bahasa yang baik atau ingin menguasai bahasa yang baik, maka ia harus menguasai sastra. Untuk selanjutnya, pembicara disarankan memakai bahasa yang digunakan para sastrawan tersebut dalam kehidupan berbicaranya. Kemudian mereka menganggap bahwa ilmu yang dapat membantu mencapai keinginan ini adalah retorika. Dengan anggapan seperti ini, maka tidak jelas lagi garis pemisah antara studi sastra sebagai ilmu dengan studi retorika yang menggarap masalah kemampuan berbicara. Inilah yang melatarbelakangi anggapan bahwa studi sastra sama dengan studi retorika. Dalam perkembangan selanjutnya, ahli sastra menyadari bahwa studi sastra mempunyai ruang lingkup yang jah lebih luas daripada hanya masalah bahasa saja. Sehubungan dengan itu, retorika dianggap hanya merupakan bagian kecil dari studi sastra, yakni sebagai salah satu aspek studinya yang kemudian lebih dikenal dengan nama kritik sastra. Kritik sastra pada zaman itu lebih banyak ditekankan pada masalah pemahaman bahasa sastra sebagai sarana membina kemampuan berbicara seperti yang biasa dipakai para sastrawan. Pengertian retorika yang ditampilkan pada zaman pertengahan dan renaisan itu kemudian berkembang subur dan mencapai puncaknya pada abad ke-18. 

Pengertian retorika yang disamakan dengan studi sastra dan mengidentikkannya dengan kritik sastra pada waktu itu terus dibina. Jika paham ini dikaitkan dengan pandangan Aristoteles, jelas tampak bahwa pengertian itu merupakan penyimpangan, karena studi berbicara yang dibahas dalam studi sastranya masuk pada permasalahan studi berbicara dalam retorika. Berbicara dapat saja dibahas dalam sastra, tetapi tidak harus kemudian menyamakannya dengan studi retorika. Studi retorika punya kaidah-kaidahnya sendiri yang tidak dapat disamakan dengan studi sastra. Ingatlah bahwa studi retorika punya ontologi, epistemologi, dan aksiologinya sendiri. Pemahaman-Pemahaman yang Keliru. 

Pandangan Plato sebagai sebuah seni baru 

Salah satu pemikiran pemikiran Plato yang terkenal ialah pandangannya mengenai realitas. Menurutnya realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia: dunia yang terbuka bagi rasio dan dunia yang hanya terbuka bagi panca indra. Dunia pertama terdiri atas idea-idea dan dunia berikutnya ialah dunia jasmani. Bahkan pemikiran Plato tersebut bahkan berhasil mendamaikan pertentangan antara pemikiran Hera Kleitos dan Parmenides(Bartness.1979:14). Pandangan Plato mengenai dunia tersebut akan dibahas lebih rinci pada sub-bab berikutnya karena sangat terkait dengan konsep mimesis.

Plato   memiliki   pemikiran   yang   dilematis   teradap  karya  seni.  Walaupun  Plato  tidak  menyukai  seni  karena  ditakutkan     dapat     memberikan    dampak     buruk     bagi  pemikiran ‘dunia  Idealnya’,  dia  tetap  membahas  berbagai  kelebihan  dan  manfaat  yang  dapat  dihasilkan  oleh  karya seni.  Plato  berpendapat  bahwa  benda  seni  yang  diciptakan  para    seniman    merupakan    tiruan    benda    indah    yang  merupakan  ilusi  dari  ide  keindahan  yang  telah  dijabarkan  diatas.  Karya  seni  itu  sendiri  hanya  sebuah  ilusi/bersifat  maya.  Karenanya,  karya  seni  itu  inferior  (bertaraf  rendah). Karya seni juga dapat merusak akal sehat akibat kandungan emosi   dan   akibat   tiruan   ide   keindahan   (hegemonisasi  kecantikan: harus putih, berhidung mancung dan berambut  lurus). Karya  seni  tidak  dapat  dijadikan  sumber  menimba  pengetahuan, tidak seperti matematika atau ilmu eksak lain. 

Pandangan seni yang berusaha untuk menggambarkan alam sekitar dengan tertib ini bermula di Yunani pada sekitar abad keenam sebelum masehi (bersamaan waktu perpindahan kedua nenek moyang orang Indonesia dari Yunan Asia Tenggara). Seni bagi orang Yunani pada masa itu adalah tiruan alam atau disebut “mimesis”.

Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunoni Kuno, hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi salah satu pendekatan utama untuk menganalisis sastra selain pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan ibu dari pendekatan sosiologi sastra yang darinya dilahirkan puluhan metode kritik sastra yang lain.

Mimesis berasal  bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan ( Ravertz.2007: 12).

Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni.

Plato menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio,tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Idea bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah,  misalnya idea mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu . Idea mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertnens1979:13).

Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya. Karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena, mereka dianggap hanya akan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan kehaluan tentang kenyataan dan melupakan kenyataan. Benda-benda yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan Jiplakan dari Idea, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sama dan sesempurna aslinya, bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg:16).

Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal.  (Teew.1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew. 1984:221).

Plato mengemukakan pandangan yang amat ekstrem terhadap retorika. Di satu pihak, ia mencela retorika sebagai keterampila membual, omong kosong, dan mengutamakan keindahan. Di pihak lain, ia memuji retorika sebagai keterampilan untuk keberhasilan komunikasi. Pandangannya yang mencela retorika antara lain: 

  1. Retorika adalah keterampilan dan ketangkasan berbicara untuk menyenangkan hati orang lain. 
  2. Retorika adalah cara orang berbicara untuk menjilat.
  3. Retorika tidak ada hubungannya dengan seni berbicara, tetapi merupakan alat untuk membujuk.

Sedangkan pandangan Plato yang memuji retorika antara lain:

Retorika adalah kemampuan berbicara yang mengandung kebenaran. Kebenaran ditempatkan pada bagian utama dalam retorika. Seorang orator harus mempersiapkan kebenaran terhadap apa yang ia ingin katakan. Persuasi itu justru terletak pada kebenaran yang ia katakan.

  1. Dalam retorika ada logika. Oleh karena itu seorang ahli retorika harus ahli logika. Logika tersebut dapat dibahasakan menurut kemampuan yang mengungkapkan. Esensinya, logika tetap harus mendasari retorika. Hanya karena kemampuan dalam mengungkapkan sajalah akhirnya ia dapat mempersuasi. 
  2. Retorika mengandung kesatuan wacana yang utuh. Ada pendahuluan, isi, dan penutup. Bagian-bagian ini saling berkesesuaian. Karena itu, ahli retorika harus mengorganisasikan bagian-bagian itu dengan baik jika ingin berhasil menyampaikan pesan komunikasi. 
  3. Retorika mengandung cara penyajian (delivery) yang baik. Cara penyajian yang baik disertai penggunaan gaya bahasa yang baik pula. Jadi retorika menggunakan cara penyajian yang baik dan menggunakan gaya bahasa yang baik dalam menyampaikan pesan komunikasi. 
  4. Retorika mengandung nilai moral yang luhur. Retorika bukan sekedar mempersuasi tanpa memperhatikan hal-hal lain. Karena itu orator harus dapat mempertanggungjawabkan apa yang ia sampaikan. 

Bagi Plato retorika memegang peranan penting bagi persiapan untuk menjadi pemimpin. Retorika penting sebagai model pendidikan, sarana mencapai kedudukan dalam pemerintahan, dan mempengaruhi rakyat. 

PENUTUP

Plato merupakan suatu realitas yang objektif, karena itu idealism Plato sering disebut sebagai idealism realistis, sedangkan idealism modern bersifat subjektif oleh sebab itu sering disebut idealism subjektif.

Karena, ide adalah realitas yang sebenarnya atau keberadaan ada yang sesungguhnya, maka bagi Plato ide bukanlah sekedar gagasan atau gambaran yang hanya berada di dalam pemikiran manusia. Ide bukanlah sesuatu yang subjektif yang tercipta oleh daya fikir manusia dan oleh sebab itu keberadaan ide itu lalu bergantung pada daya pikir manusia. Sebagai realitas yang sebenarnya, bagi Plato, ide bersifat objektif.

 Plato mengungkapkan bahwa Retorika adalah kemampuan di dalam mengaplikasikan bahasa lisan yang merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan sempurna.

Referensi

Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Cara mengutip artikel ini

Fauziah, D.R. (2021, Juli 16) Analisis Seni Retorika oleh Plato. Retrieved from https://mitrapalupi.com/analaisis-seni-retorika-oleh-plato

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

As you found this post useful...

Follow us on social media!

We are sorry that this post was not useful for you!

Let us improve this post!

Tell us how we can improve this post?