Analisis Perbedaan Kebenaran dan Keyakinan

  • Post author:
  • Post category:Filsafat
  • Post last modified:October 8, 2021
  • Reading time:19 mins read
4
(2)

Ditulis oleh Muslimah, Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Djuanda

Memahami Kebenaran dan Keyakinan

Keyakinan sering kita anggap sebagai semakna dengan kebenaran. Keyakinan itu bukan kebenaran. Keyakinan adalah konsep-konsep yang kita anggap benar dan sesuai dengan realitas. Jika kita perhatikan, ada jarak antara kita sebagai subjek yang membuat konsep-konsep dengan sesuatu yang menjadi objek pengetahuan kita.

Kebenaran adalah sebuah pembuktian yang dapat dibuktikan dengan sebuah keyakinan dan sangat erat kaitannya dengan logika dan juga penalaran. Karena dari proses pembuktian suatu kebenaran diperlukan adanya proses pemikiran yang di dasarkan pada logika, yang mana dari logika tersebut akan menghasilkan sebuah penalaran yang akan mendefinisikan proses riset untuk memperoleh suatu kebenaran. Akan tetapi dalam penentuan kebenaran tersebut haruslah dengan sebuah penelitian yang sangat sungguh-sungguh, dan bahkan tidak bisa dengan cara yang terburu-buru. Harus dengan yang cukup lama atau membutuhkan waktu yang lama dalam mengungkapkannya, dengan begitu mencari kebenaran haruslah dengan bukti dan penelitian yang benar-benar kuat. Karena penelitian ini merupakan salah satu metode untuk terungkapnya atau penetnuan suatu kebenaran.

Dalam menentukan suatu kebenaran tentu perlu adanya sebuah pengetahuan yang dalam, sehingga ketika akan menetapkan suatu kebenaran itu memang sudah didasarkan pada pengetahuan yang dalam hal pemikirannya sudah dengan akal yang sehat tidak dengan sebuah karangan atau hayalan, dan juga didasarkan pada sebuah pengalaman sehari-sehari dengan sebuah metode mencoba-coba baik yang sering dialami ataupun hanya sekedar pengetahuan saja. bisa kita ketahui terkadang sebuah kebearan itu sering muncul dari sebuah pengalaman yang sifatnya itu kebetulan. Jadi, kebenaran ini adalah suatu pernyataan yang tidak bisa bertahan selama-lamanya atau tidak akan kekal, karena sebuah kebenaran itu selalu berubah-ubah sifatnya.

Semuanya itu seakan-akan mengalir, bahakan tidak ada sesuatu yang tetap atau kekal. Salah satu dasar untuk mempercayai adanya suatu kebenaran atau membuktikan bahwa hal itu bisa dianggap benar dalah sebuah keyakinan, jadi ketika suatu pernyataan itu dianggap benar maka harus didasari dengan sebuah keyakinan juga. Karena apabila pengetahuan yang terkandung dalam sebuah kenyataan itu saling berhubungan dan memiliki respon yang sama dengan objek yang dituju oleh sebuah pernyataan tersebut, maka disitulah akan adanya sebuah kebenaran yang benar-benar ada.

Charles S Peirce sebagai seorang menyebarkan aliran dan pendiri pragmatisme mengatakan bahwa kemajuan nyata dari ilmu pengetahuan bergantung pada praktis ilmiah ataupun ide-ide spekulatif. Idealisme (rasionalisme) tidak menjadikan teori sebagai pokok pengujian ilmiah, sedangkan materalisme (empirisme) tidak meningkatkan praktisnya dengan teori-teori yang berarti. Menurutnya, teori yang baik harus mengarah pada penemuan fakta-fakta baru dan konsekuensi pemikiran teoritisnya dalam praktis (Keraf, 1987: 6).

Charles menjelaskan proses dan prosedur yang memungkinkan ditimbangnya pengetahuan, berupa ilmu serta hal-hal yang harus dipertimbangkan sehingga diperoleh kebenaran ilmu yang bermakna. Ia menjelaskan apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri dan menjelaskan cara yang bisa membantu diperolehnya makna dari kebenaran itu sendiri. Teori pragmatis Charles S Peirce belief, merupakan sarana untuk mendekati sarana-sarana pokok yang berkaitan dengan dinamika ilmu pengetahuan, baik ilmu sosial, ilmu alam, psikologi bahkan agama sekaligus. Kebenaran yang diyakini kebenaran tanpa adanya keraguan merupakan cara berfikir skeptis, dimana keyakinan akan kebenaran itu tidak sampai pada pemberian makna akan kebenaran. Kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang bisa dibuktikan melalui pengujian-pengujian empiris ekspermental hingga makna dari kebenaran bisa didapatkan.

Keyakinan menjelaskan pernyataan yang tegas atau penerimaan proposisi dimana seseorang berkomitmen untuk mempertahankan kebenaran. Pernyataan tegas dari suatu dalil yang dianggap benar yang mana seseorang secara sadar dan siap untuk bertindak dengan cara tertentu yang menghasilkan kebiasaan dalam berfikir (hobit of mind). Dalam pengertian yang luas “belief” itu berpusat pada manusia. Karena manusia berbeda dengan makhluk lainnya yang mana memiliki keyakinan dan menggunakan akalnya untuk memperoleh ide-ide yang cemerlang.

Hakikat Keyakinan

Keyakinan bisa digambarkan atau diartikan sebagai sebuah kemampuan dari dalam diri sendiri yang gunanya untuk mengorganisasikan atau melakukan sebuah tindakan yang dianggap perlu untuk dilakukan untuk tercapainya segala tujuan yang diinginkan. Dalam hal keyakinan ini memiliki sebuah faktor yang mana faktor ini dapat memicu terjadinya suatu keyakinan diri, salah satu faktor tersebut ialah sebuah faktor pengembangan. Yang mana dalam proses perkembangan ini yang paling memicu terjadinya sebuah keyakinan pada diri sendiri dan juga agar mampu tercapainya segala identitas diri sebagai tugas perkembangan yang dapat dilihat pada perilaku yang terdapat pada diri sendiri. 

Jadi, dari faktor perkembangan ini kita mampu menciptakan sebuah tindakan atau sikap yang mana akan memicu kemandirian dan pengetahuan untuk meyakini sesuatu yang benar untuk dipercayai. Jadi, pada dasarnya rasa keyakinan itu ada pada diri sendiri yang jalannya itu melalui hati tanpa adanya wujud nyatanya, hanya sebuah kesadaran diri sendiri yang mana akan menghadirkan sebuah pemikiran yang memicu pada hal yang kita yakini. Walaupun terkadang tidak bisa kita lihat wujud nyata dari rasa yakin ini. Karena seperti yang sudah jelas kita ketahui keyakinan itu adanya darri dalam hati bukan dari apa yang kita lihat. Sehingga akan sangat sulit untuk menggoyahkan sebuah keyakinan diri.

Adapun hakikat keyakinan itu sendiri adalah keinginan yang kita perbuat dengan cara tertentu dan menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan merupakan kesadaran yang berlangsung terus-menerus dan bukan merupakan kesadaran sesaat saja, seperti melihat kilatan cahaya atau petir yang hanya sekejap mata. Charles S Peirce berpendapat bahwa memperoleh keyakinan tidak hanya sebagai serangkaian pengalaman yang dialami, tetapi atas dasar latihan imajinasi yang berulang-ulang dalam suatu kondisi atau keadaan tertentu (Milton K. Munitz, 1981:29).

Belief merupakan suatu yang diyakini kebenarannya, sehingga menjadi dasar bagi seseorang untuk bertindak. Keyakinan akan membimbing seseorang dan membentuk tindakan dalam berprilaku. Seseorang yang telah meyakini suatu hal pasti akan menghasilkan kebiasaan dalam berfikir (hobit of mind) orang tersebut. Habit of mind seseorang dapat juga disebut dengan culture atau kebudayaan dalam berfikir. Dari kebiasaan berfikir tersebut, tidak semua orang akan yakin terhadap sesuatu yang belum jelas kebenarannya. Dari situlah akan timbul rasa ragu dalam diri orang tersebut (Khuzai’I, 2007:122).

Dapat kita ketahui! Bahwa keyakinan bukanlah kebenaran. Sejatinya, hanya dengan modal keyakinan, belum tentu sudah benar, begitu juga dengan sebaliknya. Atau bisa juga, keyakinan bukan sebuah kepastian. Artinya bisa benar bisa tidak. Walau pun secara psikologis, saat dalam kondisi yakin, sering kali kita terjebak dalam rasa sudah benar adanya. Ada perbedaan antara keyakinan dan kebenaran. Walau dalam kehidupan sosial masyarakat hal itu batasannya menjadi kabur. Apalagi ditambah dengan cara berfikir bahwa ; “YAKIN LAWAN KATANYA RAGU”! semakin klop salah kaprah yang telah mendarah daging tersebut.

Secara harfiah; keyakinan adalah suatu sikap yang ditunjukan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan dapat menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Karena keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak selalu benar atau, keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran. Jadi, saat manusia dalam kondisi yakin. Maka bisa saja benar atau bisa juga salah. Belum mutlak.

Logika Keyakinan

Sederhananya yakin itu sebuah kondisi. Kondisi dari sebuah kesimpulan merasa sudah tahu atau benar, tapi bukan sebuah kenyataan atau realitas. Jika realitas atau kenyataan maka biasanya disebut dengan fakta. Jika fakta, maka kondisinya bukan yakin lagi. Tapi statusnya tahu. Namun, karena kesalah kaprahan yang sudah mendarah daging dan dianggap biasa, secara psikologi manusia kemudian menganggap bahwa ini tidak masalah. Biasa saja, memang begitu adanya. Kita kemudian, mengabaikan dan tidak berupaya mencari tahu makna dan tujuan dari kata keyakinan yang sesungguhnya.

Karena pada dasarnya keyakinan itu ada karena sebuah prinsip dari dalam diri sendiri dan sebuah tindakan yang melekat pada diri sendiri, maka janganlah terlalu mudah dalam hal keyakinan atau meyakini sesuatu tanpa sebuah pemikiran yang memicu pada sebuah sebab akibat yang akan didapatkan. Karena sejatinya apapun yang kita yakini itu adalah gambaran diri kita dan akan menjadi sebuah acuan untuk langkah kita, maka yakini segalanya dengan hati yang tenang agar dapat menghasilakan sebuah keyakinan diri yang benar-benar baik untuk kita kedepannya.

Akan tetapi terkadang beberapa orang itu sering kali menyamaratakan pengertian sebuah kebenaran dengan keyakinan seakan tidak adanya pernedaan dari keduanya. sehingga terkdang akan menimbulkan sebuah pemahaman yang berbeda, dan terjadilah sebuah perpecahan karena adanya perbedaan tersebut. Padahal seharunya sebelum kita menetapkan suatu hal harus dengan sebuah pemahaman dahulu, agar tidak adanya sebuah kesalahan dan sebuah kontra dalam hal perbedaan keyakinan ini. Harunya mencoba dengan mencari tahu apa yang menterbelakangi adanya kebenaran dan keyakinan ini agar bisa dalam satu pemikiran yang sama. Agar tidak adanya perpecahan dalam hal keyakinan ini. Dan suatu keyakinan itu bisa di jadikan acuan untuk menentukan suatu kebenaran. Jadi apa yang menyebabkan kebenaran dan keyakinan itu berbeda?

Dalam banyak kasus, manusia bisa marah saat orang melakukan penghakiman padanya, hanya dengan modal keyakinan mereka. Tapi, karena kesalah kaprahan dalam dimensi pikiran yang berpengaruh kebawah sadar manusia, kita tidak tahu bahwa tindakan tersebut sebenarnya tidak dianggap kejahatan atau kesalahan. Khususnya bagi pelaku. Kenapa, pelaku tidak merasa bersalah. Keyakinan dalam pikirannya adalah kebenaran dalam psikologinya. Ini murni tentang dimensi pikiran manusia.

Makanya, sering terjadi penghakiman atas dasar modal “yakin” doing. Secara psikologis akhirnya manusia merasa tidak bersalah atas tindakan atau perlakuan ini. Berbagai penghakiman terhadap manusia seperti ini pun terjadi pada banyak aliran system keyakinan termasuk agama. Bisa, jadi pada dasarnya manusia dalam aliran keyakinan dan agama tersebut baik, polos dan tulus. Namun karena kondisi secara keyakinan yang secara psikologis dianggap sebuah kepastian, maka tindakan-tindakan yang dilakukan menjadi dianggap benar. Para radikalis, merasa benar membunuh orang yang berbeda aliran. Dalam dimensi pikirannya ini adalah benar.

Keyakinan dalam Dimensi Pikiran Manusia

Kebenaran dan keyakinan itu adalah suatu hal yang berbeda. Kata “ berbeda” ini mengacu pada banyak hal, yaitu beda dalam penulisannya, beda dalam setiap hurufnya dan yang paling utamanya adalah beda dalam pengertiannya. Seperti yang sudah tertera pada penjelasan diatas. Jadi bisa kita artikan bahwa sebuah keyakinan itu adalah suatu rasa atau perasaan yang hanya bisa kita rasakan oleh diri kita sendiri, sedangkan sebuah kebenaran itu lebih kepada sebuah pembuktian yang mengacu pada penelitian dan sifat dari kebenaran itu berwujud. Dari sini mungkin sudah mengerti mengenai sebuah perbedaan antara kebenaran dan keyakinan. 

Akan tetapi, walaupun pada hakikatnya kebenaran dan keyakinan ini berbeda, tapi dalam halnya saling memiliki keterkaitan satu sama lain. Mengapa demikian? Karena, suatu kebenaran akan jelas atau dinyatakan itu benar dengan adanya sebuah keyakinan, dan begitupun sebaliknya. Sebuah keyakinan itu akan merasa yakin jika telah terbukti kebenarannya. Ada beberapa kejadian yang mengarah pada kebenaran dan kenyataan atau sebuahh gambaran dari kedua hal tersebut.

Saya akan menggambarkan sebuah pembuktian bahwa kebenaran dan keyakinan itu berbeda akan tetapi memiliki keterkaitan di dalamnya. Disini gambaran itu adalah diri saya sendiri, jadi saya beberapa hari yang lalu diberi sebuah tugas untuk membuat sebuah esayy pemikiran tentang filsafat. Kebetulan pada saat itu juga banyak sekali tugas yang sama-sama memerlukan pemikkiran dalam pengerjaanya, mungkin karena terlalu merasa terbebani oleh banyaknya tugas, sehingga kondisi tubuh saya tidak mendukung dan akhirnya tubuh ini tumbang diwaktu yang sangat tidak saya inginkan. Akan tetapi karena saya berkeyakinan bahwa maag saya ini akan berkepanjangan, oleh sebab itulah saya mengerjakan filsafat tanpa pemikiran, tanpa meminta arahan, tanpa adanya penjelasan. Dan akhirnya saya hanya mengambil beberapa bahkan, hampir semua isi pembahasannya bukan atas pemikiran saya melainkan pemikiran para sumber lain.

Inilah adalah kegilaan akibat kesalahkaprahan dalam dimensi pikiran manusia. Kita mungkin menganggap bahwa para radikalis salah atau kejam dan lainnya. Tapi kita sendiri mengalami kondisi kegilaan dalam hal ini. Kita tidak bisa melihat bahwa apa yang kita yakini sebagai belum tentu benar. Manusia sering kali terjebak dalam keyakinan buta. Baru dalam status yakin sudah merasa dalam status kepastian benar.

Bahkan, pada beberapa orang berfikir bahwa : KEYAKINAN itu lawan dari KERAGUAN. Dengan begitu maka secara otomatis bawah sadar manusia menangkap, keyakinan itu adalah kepastian. Kebenaran mutlak! Sudah pasti. Kita yang dalam salah satu aliran keyakinan agama misalnya, memiliki keyakinan bahwa alam dan segala isinya ini adalah ciptaan tuhan kita. Secara psikologis, kita sudah merasa ini sebuah kepastian. Sudah pasti benar. Tuhan yang dalam pemikiran kita, ada dan memang mengatur segala sesuatunya. Demikian juga pada yang memiliki keyakinan konsep dewa-dewi. Mereka berfikir bahwa dewa-dewi itu benar-benar ada. Pasti ada!

Tapi ketahuilah, para Atheis yang dalam dimensi pikiran tidak percaya adanya tuhan, melihat kita adalah sebuah kegilaan. Sama seperti kita yang melihat kaum atheis sebagai orang gila yang tidak percaya bahwa segala sesuatunya ada penciptanya. Sama-sama gila dalam keyakinan yang sudah dianggap kepastian. Kita yang dalam kepercayaan adanya tuhan, mereka yang percaya adanya dewa-dewi, dan kaum atheis yang tidak percaya tuhan, sama-sama dalam dimensi “keyakinan” masing-masing. Dan kemudian tumbuh dalam sebuah dimensi merasa itu sudah benar. Merasa sebagai kepastian. Kenapa? Karena kesalah kaprahan tentang esensi kata keyakinan.

Kita tahu pasti, ini susah diterima oleh pemikiran. Kita sudah terjebak sangat jauh, dalam keyakinan yang kita anggap sudah menjadi kepastian atau kebenaran. Tidak perlu terburu-buru mengambil kesimpulan dalam keyakinan baru. Renungkan saja dulu, bisa sehari, dua hari, seminggu, sebulan, setahun, puluhan tahun, atau hingga akhir hayat. Terkadang kita bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana manusia mampu mengetahui “kebenaran” ? dan bagaimana kita tahu bahwa kebenaran itu adalah sebuah kebenaran ?

Jawaban: nilai-nilai kebenaran, etika, moralitas, budaya, dan lainnya adalah kreatifitas bentukan manusia melalui sebuah proses yang panjang. Peradaban itu sendiri terbentuk melalui evolusi kognitif dan sangat perlahan. Pastinya ada proses, tidak begitu saja terjadi. Nilai kebenaran masa lalu, dengan yang sekarang bisa saja berbeda. Namanya peradaban, dalam setiap komunitas, golongan, sistem, keyakinan, budaya juga sering terdapat perbedaan tentang nilai-nilai kebenaran. Nilai kebenaran itu adanya dalam dimensi pikiran manusia.

Kita saat ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dengan nilai-nilai yang disepakati dan sebagian besar diwarisi oleh generasi sebelumnya. Dan waktu membawa perubahannya, jika seandainya ada mesin waktu, kita mengirim bayi yang baru lahir ke era peradaban kuno. Bisa jadi, ada sedikit perbedaan dari sisi genetiknya dan kecerdasaan bawaan, namun bayi tersebut akan tumbuh sebagai manusia sesuai dengan peradaban disana. Berfikir, bersikap, dan merasa sebagai orang kuno.

Disinilah prinsip-prinsip yang logis dan aksiomatis. Dihadapan sebuah premis, kita bisa meyakininya benar, menentangnya, atau abstain. Tiada pisau analisis yang lebih shahih dari logika untuk membedah setiap pernyataan. Saking shahihnya, untuk membantah logika, kita mesti menggunakan logika. Kesadaran ini penting untuk kita miliki agar tidak terjebak pada permutlakkan presepsi. Kita akan maklum kalau budaya, bahkan agama, ada bermacam-macam, karena dimensi relativitas kita sebagai manusia meniscayakan itu.

Bahkan saya sadari itu saya belum memahami apa sih kebenaran itu dan apa keyakinan itu padahal disitu saya menuliskan banyak pengertian kebenaran dan keyakinan. tetapi kenapa saya sampai bisa berani mengumpulkan esai tersebut padahal saya belum tahu itu benar atau tidak. Karena berdasarkan pada sebuah keyakinan yang membuat saya berani mengirimkan nya, karena pemikiran saya. Yang terpenting selesai dari pada nanti tidak dikerjakan karena takut sakit saya ini berkepanjangan. Padahal keyakinan saya tersebut tidaklah benar, jadi saya meyakini sesuatu tanpa pemikiran yang panjang, pikiran saya terlalu pendek untuk memahami sebuah kebenaran yang akan terjadi. Dari kejadian tersebut saya bisa memahami bahwa keyakinan dan kebenaran itu berbeda akan tetapi memiliki ketrkaitan untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya. 

Cobalah untuk meyakini segala sesuatu itu jangan dengan yakin semata. Karena apa yang kita yakini belum tentu itu baik, yakini segalanya dengan sebuah pembuktian yang nyata. misalnya kita mencintai seseorang, tapi kita tidak mengetahui bentuk dari cinta itu apa sih? Cinta memang benar adanya akan tetapi tidak ada bentuknya. Jadi, rasa cinta itu adalah sebuah keyakinan dan ikatan pernikahan adalah sebuah kebenaran jadi tetap kebenaran dan keyakinan harus saling beriringan agar tidak adanya perpecahan didalamnya. Jika menginginkan sebuah kebenaran maka haru ada keyakinan dan apabila ingin meyakini sesuatu harus mencari kebenarannya.

Konsep Pemikiran CS Pierce sebagai Solusi Alternatif

Kajian keislaman sudah seharusnya mempertimbangkan pemikiran Charles Sanders Peirce. Munculnya berbagai macam pemahaman dan pemikiran keislaman yang anti kritik memunculkan permasalahan baru yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan dilingkungan kaum muslimin. Kondisi ini disebabkan karena adanya truth claim (klaim kebenaran) atas kebenaran kecil (small truth ‘t’) dari kebenaran besar (big truth ‘T’).
Dengan demikian, “maka ada kebenaran yang dapat dibuktikan menjadi keyakinan, dan keyakinan adalah kebenaran tanpa pembuktian.” Tumpang tindihnya kognitif dari keyakinan dan kebenaran, tidak lain karena perbedaan landasan dan pedoman untuk memahaminya.
Jadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kebenaran itu harus dipandang dengan relativitas yang positif, not absolut, not ekslusive, dialogis dan tidak menang-menangan. Selain itu ilmu pengetahuan itu harus bisa diperbaiki kea rah yang lebih baik (corrigibility knowledge). Jika tidak, implikasinya adalah mandeg dan stagnannya ranah empiris positivis dan kalau itu benar terjadi. Ilmu yang telah ada jadi pari purna, karena tidak ada yang merespon apalagi mengkritik. Ilmu yang ada jadi absolute, karena tidak ada koreksi, verifikasi, dan penemuan-penemuan baru lanjutan. Inilah jalan dan alur berfikir ilmiah menurut Pierce.

Refleksi Diri atas Keyakinan dan Kebenaran

Dari pemaparan diatas baik dari sebuah pengertian, dan pembahasan. Dapat disimpulkan bahwa sebuah kebenaran dan keyakinan itu berbeda, tetapi memiliki keterkaitan satu sama lain dalam hal penentuan tujuan yang sama. Kebenaran adalah suatu pernyataan yang tidak bisa bertahan selama-lamanya atau tidak akan kekal, karena sebuah kebenaran itu selalu berubah-ubah sifatnya.

Ketika akan meyakinin sesuatu itu harus dengan pemikiran yang masuk akal yang mana akan menghadirkan sebuah kebenaran dengan keyakinan, dan keyakinan dengan pembuktian kebenaran. Walaupun terkadang beberapa orang sering kali menafsirkan pengertian sebuah kebenaran dengan keyakinan itu suatu hal yang sama dalam pemikirannya seakan-akan tidak ada batasan tersendiri dari keduanya. sehingga sering kali dari pemahaman sempit tersebut akan menimbulkan sebuah pemahaman yang berbeda, dan berkemungkinan akan terjadi sebuah perpecahan karena adanya perbedaan tersebut. Padahal seharusnya sebelum kita menetapkan suatu hal harus dengan sebuah pemahaman dahulu, agar tidak adanya sebuah kesalahan dan sebuah kontra dalam hal perbedaan keyakinan ini. Harusnya mencoba dengan mencari tahu apa yang menterbelakangi adanya kebenaran dan keyakinan ini agar bisa dalam satu pemikiran yang sama. Agar tidak adanya perpecahan dalam hal keyakinan ini. Dan suatu keyakinan itu bisa di jadikan acuan untuk menentukan suatu kebenaran.

Jadi sedikit saran, walaupun mungkin sudah beberpa kali kata ini saya ucapkan tapi memang haruslah kita ketahui bersama agar terciptanya kehidupan yang tentram, tanpa adanya perbedaan dalam hal memahami segala hal. Yaitu yakini segalanya dengan pembuktian dan buktikan itu dengan keyakinan. Jadi pada dasarnya segala itu hanya allah yang tahu kebenaran dari pada yang kita pikirkan. Kita sebagai manusia hanya bisa meyakini dan mencari dengan jalan yang baik menurut sang pencipta agar tidak salah dalam menjalani segala aktivitas yang membutuhkan sebuah pemikiran dan keyakinan diri. Semoga apa yang saya sampaikan ini bisa dipahami dan mampu diambil yang baiknya. Apabila ada kesalahan pejelasan mungkin itu datangnya dari diri saya yang kurang memahaminya. Karena sejujurnya saya walaupun sedikit memahami dari perbedaan antara kebenaran dan keyakinan ini tetaplah saya tidak mampu menjelaskan secara baik karena saya sendiri masih butuh bimbingan untuk ini. saya meminta maaf atas segala kelancangan kata. Terima kasih.

Referensi

Kertayasa, I. N. (2011). Logika, Riset dan Kebenaran. Widyatech Jurnal Sains Dan Teknologi, 10(3), 29–44

Cara Mengutip Artikel ini (APA Style)

Muslimah (2021, Juni 30) Analisis Perbedaan Kebenaran dan Keyakinan. Retrieved from https://mitrapalupi.com/analisis-perbedaan-kebenaran-dan-keyakinan/

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 4 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

As you found this post useful...

Follow us on social media!

We are sorry that this post was not useful for you!

Let us improve this post!

Tell us how we can improve this post?

This Post Has One Comment

Comments are closed.