Analisis Epistemologi Moral oleh 4 Ahli

  • Post author:
  • Post category:Filsafat
  • Post last modified:October 8, 2021
  • Reading time:12 mins read
5
(2)

Ditulis oleh Elis Mukholisoh Said

Latar Belakang

Epistemologi adalah suatu kajian dalam filsafat yang utamanya dalah mencari pengertian, asal usul, penyebab, cara kerja, dan pengetahuan. Bagi para pelajar filsafat di Indonesia epistemologi biasanya di kaitkan dengan suatu pertanyaan pokok yang bisa di rumuskan dalam bentuk apakah syarat-syarat pengetahuan kita atau dalam bentuk lainnya seperti yang di nyatakan oleh immanuel kant bagaimana pengetahuan kita mungkin? pertanyaan ini berusaha mencari tahu apakah landasan dari pengetahuan kita yang kita klim sebagai sesuatu yang di dasarkan pada entah itu pengalaman, rasionalitas atau sumber-sumber lainnya.

Pemikiran kant muncul dalam suatu perdebatan dalam filsafata modern sekitar abad ke 18 khususnya berkenaan dengan sumber penegtahuan kita. Ada sebagian pemikir yang di sebut sebagai kaum rasionalis yang berpendapat bahwa pengetahuan kita itu berasal dari pengetahuan yang sifatnya rasional belaka. Seorang filsuf seperti Descartes atau Spinoza atau Leibniz biasanya di kaitkan dnegan faham ini. Mereka percaya bahwa pengetahuan itu sepenuhnya di dasarkan pada rasio (nalar). Di dalam matematika kita tidak perlu kenyataan empirisi luar kita untuk sampai pada suatu kesimpulan tentang masalah matematis. Kita cukup mengandalkan pengetahuan rasional kita yang murni berasal dari apa yang di sebut dengan Lumen Naturale (suatu cahaya alami yang turun dari benak kkta berdasarkan rasio).

Contoh lain dari pengetahuan yang sepenuhnya rasional adalah pengetahuan logika. Filsuf seperti Laiftics percaya betul bahwa logikalah kunci dari segala macam ilmu pengetahuan. Berlawanan dengan kaum rasionalis itu ada juga yang di sebut kaum empirisis. Empirisis atau empirisisme berasal dari kata yunani yang artinya adalah pengalaman. Menurut kaum empirisis seperti David Hume atau John Locke pengetahuan kita di dasarkan sepenuhnya pada pengalaman indrawi. Segala macam kesimpulan yang bisa kita tarik mengenai dunia sebetulnya hanyalah turunana dari pengalaman indrawi itu. Itulah sebabnya menurut Hume tidak ada pengetahuan yang sifatnya mutlak, yang niscara. Karena menurut ia setiap pengetahuan sebetulnya karena di dasarkan pada data indrawi yang terbatas tidak akan bisa sampai pada suatu kesimpulan yang sifatnya berlaku umum kapan saja dan dimana saja.

Di era konteporer masalah-masalah epistemologi juga muncul dalam bentuknya yang khas, salah satunya adalah problem tentang pengetahuan sebagai apa yang di sebut dalam tradisi analitik Justified True Belief (suatu keyakinana atau kepercayaan yang sudah terjustivikasi dengan benar). Artinya, komponen pembentuk pengetahuan itu salah satunya adalah kepercayaan dan salah duanya adalah bukti. Masalahnya, kedua hal itu seringkali tidak berjalan beriringan. Contohnya adalah apa yang di temukan oleh G. E Moore seorang filsuf dari inggris di awal abad ke 20 khususnya yang berkenaan hubungan antara Belief dan Nolage. Kalau benar bahwa pengetahuan itu adalah suatu keyakinan yang terjustivikasi dengan benar maka bagaimana dengan pernyataan seperti misalnya “saya tahu di luar hujan tetapi saya tidak percaya itu” bagaimana klim seperti itu atau proposisi seperti itu mau kita mengerti. Kalau ada orang yang bilang bahwa saat ini di luar hujan dan dia tahu itu tetapi dia pada saat yang sama juga tidak mempercayai hal itu, bagaimana kita mengevaluasi klim dia itu. Jelas ini bertentangan dnegan syarat utama tentang pengetahuan yaitu Belief (kepercayaan). Disini kita menemukan apa yang disebut sebagai Paradoks Moore, ini adalah suatu paradoks dimana ada klim tentang pengetahuan, ada klim bahwa seseorang mengetahui sesuau tetapi dia pada saat hal yang sama juga dia mengklim bahwa dia tidak percaya tentang hal yang dia ketahui itu. Itu adalah contoh epistenologi yang berkembang di awal abad ke 20.

Epistemologi tidak hanya berurusan dengan apa yang di dapat kita ketahui, tetapi juga dengan apa yang kita tidak ketahui, segala sesuatu yang betul-betul tidak mungkin kita ketahui. Dengan kata lain epistemologi juga berurusan dengan batas dari pengetahuan manusia. Adakah hal-hal yang benar-benar tidak kita ketahui, entah itu oleh nalar kita ataupun oleh pengetahuan indrawi kita. Salah satu topik klasik dalam hal ini adalah misalnya pengetahuan kita tentang hal-hal yang bersifat spiritual, pengetahuan tentang ketuhanan misalnya.

Bagaimana kita memastikan bahwa memang ada objek di luar diri kita? Kita mendasarkannya pada pengetahuan yang sifatnya subjektif selalu berakar pada pengetahuan kita sendiri. Keberadaan objek di luar diri kita merupakan suatu kesimpulan dari pengetahuan yang berada di dalam diri kita. Tantangan bagi para pengkaji epistemologi adalah antara lain membuktikan bahwa dunia di luar kita ini ada dan kita bisa mengetahuinya, dan kita bisa memberi bukti pengetahuan bagi keberadaan objek-objek itu termasuk diantaranya adalah keberadaan fikiran lain atau orang lain.

Disini juga kita melihat keterkaitan epistemologi dan masalah metafisika. Karena kita tahu bahwa keberadaan objek diluar kita adalah sebetulnya masalah metafisika. Tetapi cara kita untuk sampai pada kesimpulan tentang objek diluar kita itu adalah persoalan epistemologi. Dari sini juga kita bisa lihat bahwa hubungan antara berbagai cabang filsafat itu erat sifatnya.

PEMBAHASAN

Epistemologi Menurut Immanuel Kant

Setelah empirisme dan rasionalisme menguak di tradisi filsafat modern sebagai dua paham epistemologi maka datanglah sosok yang kemudian berupaya untuk meromantisasi / menyelaraskan antara rasionalis dengan empiris yaitu Immanuel kant, salahsatu filsuf dari jerman. Didalam upayanya untuk menjelaskan romantisasi itu, Immanuel kant mencoba merumuskan beberapa tahapan-tahapan pengetahuan yang di alami oleh manusia. 

  1. Estetika Transendental (pengetahuan taraf indera)

Menurut kant rasio dan indera itu sudah terlibat. Pada saat manusia melakukan penginderaan setidaknya ada 2 hal yang ada di situ, yaitu : materi (isi penginderaan) dan forma (penghubung penginderaan).

Untuk materi, jika materi ini adalah apa yang di cerna atau apa yang di cerap, maka forma adalah ruang dan waktu. Jadi tidak ada satu materipun yang terlepas dari ruang dan waktu. Sementara ruang dan waktu itu lokusnya bukan di realitasi di luar, tetapi lokusnya ada pada rasio.

  1. Analitika Transendental (pengetahuan taraf intellek)

Kant menjelaskan bahwa data-data indera yang sudah dicapai pada tahapan pertama itu belumlah menjadi suatu pengetahuan. Jadi pada saat kita melihat satu peristiwa adanya gumpalan awan, lalu kemudian ada kilat, lalu kemudian ada petir itu hanya data-data indera. Kita belum bisa menyimpulkan suatu pengetahuan disitu. Data-data indera ini baru menjadi suatu pengetahuan ketika dikolerasikan dengan konsep-konsep yang sudah ada di dalam rasio. Jadi pada rasio itu sudah tertanam kategori-kategori. Ini semacam kacamata yang warnanya hijau maka data-data inderapun menjadi hijau. Kesesuaian antara data indera dengan apa yang terdapat di dalam rasio yang merupakan kategori-kategori itulah yang bisa di sebut sebagai pengetahuan menurut kant.

  1. Dialetika Transendental (pengetahuan taraf rasio murni)

Dialetika Transendental ini adalah tahapan murni yang rasio, murni konsep-konsep. Jadi yang di otak-atik adalah antar konsep dan tidak melibatkan indera. Karena ini bersifat rasio murni, menurut kant kajian teologi, kajian metafisika di mungkinkan pada tahapan ini.

Epistemologi Menurut John Locke

Pada tahu 1689 John Locke menulis buku yang berjudul “An Essay Corcerning Human Understanding” yang berkaitan dengan tentang pemahaman manusia. Pada buku ini John Locke menjelaskan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan alat apa yang digunakan. 

Mula-mula dia memberi kritik kepada rasionalisme yang baginya rasionalisme itu terlalu berputar-putar di hal-hal yang universal untuk membenarkan gagasan-gagasan bawannya / ide-ide bawaannya. Padahal menuerut Jhon Locke tidak semua pengetahuan manusia yang sudah memiliki rasio itu dengan sendirinya memiliki ide bawaan. 

Salah satu contoh yang sering di sebut ide bawaan di dalam rasionalisme adalah misalnya keyakinan manusia kepada pengetahuan kontradiksi bahwa A SEKALIGUS Non-A itu tidak mungkin. Pengetahuan manusia tentang ketidak mungkinan tentang rumah sekaligus bukan rumah menurut rasionalis itu adalah pengetahuan yang rasional artinya tidak perlu pengalaman. Tetapi menurut John Locke tidak demikian yang dia jadikan argument untuk membantahnya adalah pada anak kecil atau anak idiot yang mana anak kecil atau anak idiot ini sudah memiliki rasio, sudah punya rasio tetapi dia tidak bisa memahami / menangkap apa yang disebut sebagi prinsip non kontradiksi di dalam studi rasionalis. Dengan demikian menurut John Locke pengalaman mereka atau pengetahuan manusia tentang prinsip kontradiksi itu adalah pengetahuan yang diasalkan dari hal-hal yang inderawi. Jadi proses itu menurut John Locke tetaplah proses yang empiris yang melalui suatu proses tahapan pengetahuan.

Epistemologi Menurut George Berkeley

Epistemologi menurut George Berkeley adalah pengetahuan sejauh di persepsi salah satu tokoh yang lahir di irlandia. George menulis buku yang berjudul “A Treatise of The Principle of Human Knowledge” atau risalah tentang prinsip pengetahuan manusia. Pada buku ini Berekeley menjelaskan bagaimana sejatinya pengetahuan itu di capai oleh manusia. 

Menurut Berkeley pengetahuan manusia itu adalah persepsi itu sendiri. Contoh, kita tahu tentang apel karena kita pernah melihat warnanya, pernah memegang teksturnya, pernah mencium baunya, pernah mencicipi rasanya, lalu kemudian kita menyebut itu sebagai apel. Jadi, apa yang kita sebut sebagai think atau sesuatu, maka tidak terlepas dari apa yang kita persepsi. Intinya, sejauh yang kita persepsi sejauh itu pula sesuatu itu di anggap ada.

Epistemologi Menurut David Hume

Hume menulis 2 buku yang membahas ilmu pengetahuan ini, pertama berjudul “An Enquiry Corcerning Human Understanding” dan yang kedua berjusul “A Treatise of Human Nature”. 

David Hume menegaskan bahwa sebetulnya indera tidak lemah, indera punya kekuatan. Ada pembuktian terbalik yang dilakukan oleh David Hume. Contohnya  ketika manusia kehilangan penglihatannya maka semua pengetahuannya secara total tentang warna akan hilang. Ketika manusia kehilangan indera pendengarannya maka secara total manusia juga kehilangan tentang bunyi-bunyian, tidak bisa menikmati music, tidak bisa indahnya suara-suara. Dengan demikian, berkaca pada ini menurut Hume berarti indera ini punya peran yang kuat bahkan sangat mendasar di dalam proses pengetahuan manusia.

Hume merumuskan 2 pandangan yaitu perlu dibedakan antara impresi dan ide. Untuk merumuskan ini, Hume memulai dari satu persoalan seperti ini, ketika ada asal usul tentang pengetahuan dia mengatakan ini “apa yang kita rasakan melalui proses sentuhan tentang panas dengan apa yang kita fikirkan tentang itu sama sekali berbeda”.

Kesimpulan

Epistemologi adalah suatu kajian dalam filsafat yang utamanya dalah mencari pengertian, asal usul, penyebab, cara kerja, dan pengetahuan. Di era konteporer masalah-masalah epistemologi juga muncul dalam bentuknya yang khas, salah satunya adalah problem tentang pengetahuan sebagai apa yang di sebut dalam tradisi analitik Justified True Belief (suatu keyakinana atau kepercayaan yang sudah terjustivikasi dengan benar). Artinya, komponen pembentuk pengetahuan itu salah satunya adalah kepercayaan dan salah duanya adalah bukti.

Epistemologi tidak hanya berurusan dengan apa yang di dapat kita ketahui, tetapi juga dengan apa yang kita tidak ketahui, segala sesuatu yang betul-betul tidak mungkin kita ketahui. Dengan kata lain epistemologi juga berurusan dengan batas dari pengetahuan manusia.

Dalam kajian epistemology ini terdapat 4 pandangan dari para ahli. Tokoh pertama adalah Immanuel Kant mencoba merumuskan beberapa tahapan-tahapan pengetahuan yang di alami oleh manusia, pertama adalah Estetika Transendental (pengetahuan taraf indera), kedua Analitika Transendental (pengetahuan taraf intellek), dan yang ketiga adalah Dialetika Transendental (pengetahuan taraf rasio murni). Tokoh yang kedua adalah John Locke yang menurutnya pengalaman atau pengetahuan manusia tentang prinsip kontradiksi itu adalah pengetahuan yang diasalkan dari hal-hal yang inderawi. Tokoh yang ketiga adalah George Berkeley yang menurutnya pengetahuan manusia itu adalah persepsi itu sendiri. Dan tokoh yang terakhir adalah David Hume yang merumuskan 2 pandangan yaitu perlu dibedakan antara impresi dan ide.

DAFTAR PUSTAKA

WIKIPEDIA

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

As you found this post useful...

Follow us on social media!

We are sorry that this post was not useful for you!

Let us improve this post!

Tell us how we can improve this post?