Penulis: Lubna Nur Zahra, Pendidikan Bahasa Arab Universitas Djuanda
Contents
Hubungan Manusia dan Alam Semesta
Hubungan manusia dengan alam adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sebagai satu kesatuan, semua hal tersebut saling berkaitan dan bersifat fungsional. Alam sebagai satu kesatuan sistem yang utuh merupakan kolektivitas dari serangkaian subsistem yang saling berhubungan, bergantung, dan fungsional satu sama lain.
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya, dalam hal ini sungai dan bantarannya. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan tak hidup, yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur (Odum, 1971).
Manusia hidup dari unsur-unsur lingkungan hidupnya. Udara untuk pernafasan, air untuk minum, keperluan rumah tangga dan kebutuhan lain, tumbuhan dan hewan untuk makanan, tenaga dan kesenangan, serta lahan untuk tempat tinggal dan produksi pertanian. Manusia adalah bagian integral lingkungan hidupnya. Ia tak dapat dipisahkan dari padanya. Manusia tanpa lingkungan hidupnya adalah suatu abstraksi belaka (Soemarwoto, 2001).
Alam semesta adalah ruang dimana di dalamnya terdapat kehidupan biotik maupun abiotik serta segala macam peristiwa alam yang dapat diungkapkan maupun tidak. Sebenarnya seluruh kejadian di alam semesta sudah terjadi dan kejadiannya mengikuti segala rencana dan konsep yang sudah tertera di dalam Al-Qur’an.
Berfilsafat melalui Alam Semesta
Jagad raya ini adalah sebuah massa atau susunan unsur-unsur itu berada dalam perbentangan. Sehingga alam semesta dalam persfektif Al-Quran dapat dipahami sebagai perbentangan unsur-unsur yang saling mempunyai keterkaitan. Pada hakikatnya, alam semesta haruslah dipahami sebagai wujud dari keberadaan Allah SWT, sebab alam semesta dan seluruh isinya serta hukum-hukumnya tidak ada tanpa keberadaan Allah Yang Maha Esa. Segala sesuatu termasuk langit dan bumi merupakan ciptaan Allah Yang Maha Kuasa (Ibrahim,14:11). Allah adalah pemilik mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta serta pemeliharanya Yang Maha Pengasih (Al-Baqarah, 1: 1-3) sebagai ciptaannya, alam semesta ini menyerah kepada kehendak Allah (Ali Imran, 3: 83) dan memuji Allah (Al-Hadid, 57: 1), (Al-Hasyr, 59:1), (As-Saff, 61:1), lihat pula ayat (Al-Isra, 17:44), (An-Nur24: 41).
Antara alam semesta (makhluk) dan Allah mempunyai keterikatan erat, dan bahkan meskipun mempunyai hukumnya sendiri, ciptaan amat bergantung pada pencipta yang tak terhingga dan mutlakSejarah lahirnya filsafat pendidikan tentang alam diawali oleh banyaknya pertanyaan yang muncul dari para filsuf Yunani tentang keberadaan alam ini. Thales misalnya, yang melihat air dan memandang segala sesuatu berasal dari air, berpendapat bahwa alam ini berasal dari air. Einstein merumuskan persamaan matematis pada tahun 1917, yang diharapkan dapat melukiskan sifat dan kelakuan alam semesta. Ia melukiskan alam bersifat statis, tetapi ia gagal menemukannya. Penyelesaian teorinya ditemukan pada tahun 1922, oleh Friedman dengan menunjukkan persamaan Einstein yang melukiskan alam semesta yang tidak statis, tetapi berkembang.
Alam semesta yang diciptakan Allah SWT. Telah diteliti oleh ilmuan dari berbagai belahan bumi ini. Sejak Morley dan Michelson pada tahun 1905, yang mendorong Einstein melahirkan teori “Relativitasnya”. Demikian juga Gamow pada tahun 1952, yang menurutnya suatu ketika seluruh alam ini akan semakin mengecil volumenya akibat ledaknya mendahsyat dari suatu titik dan mengembang sebagaimana diteliti oleh Hubble. Ledakan dahsyat yang memancarkan radiasi sebagai akibat adanya kilatan dari ledakan tersebut. Sebagai akibat dari ledakan itu, ekspansi dari radiasi berakibat alam semesta mendingin yang mengubah radiasi menjadi gelombang mikro.
Menurut Abud (1976) bahwa”karena keteraturan alam, saling kait mengait dan saling melengkapi antara unsur yang satu dengan unsur lainnya, mengharuskan manusia bekerja sama untuk mewujudkan kehidupan yang sifatnya umum dan mewujudkan manusia yang baik dengan sifatnya yang khusus. Untuk dapat mewujudkan kehidupan yang baik manusia berkewajiban mempelajari, memahami dan mengenal hukum keteraturan”alam ini.
Menurut Al-Jurjani dalam kitab Al-Ta`Arifat, terma “Alam” segala bahasa berarti segala hal yang menjadi tanda bagi suatu perkara sehingga dapat dikenali, sedangkan secara terminologi berarti segala sesuatu yang maujud (maufudat) selain Allah, yang dengan ini Allah dapat dikenali, baik dari segi nama maupun dari sifatnya. Segala sesuatu selain Allah, itulah alam secara sederhana.
Pengertian ini merupakan pengertian teologis, dalam arti berdasarkan yang dikemukakan oleh para teologi Islam. Adapun secara filosofis, “alam” adalah kumpulan faubar (substansi) yang tersusun secara materi (maddad) dan bentuk (shurah) yang ada dilangit dan di bumi. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, itulah alam berdasarkan rumusan filsafat. Alam dalam pengertian ini merupakan alam semesta atau jagad raya, yang dalam bahasa Inggris disebut universe. Alquran tidak secara secara khusus mengungkapkan alam semesta dengan tema “alam” dalam bentuk tunggal, tapi menyebutnya dalam bentuk jamak, yaitu `alamin yang diungkapkan sebanyak 73 kali dalam alqur`an.
Menurut Muhammad Abduh, orang Arab sepakat bahwa kata `alamin tidak digunakan untuk merujuk kepada segala sesuatu yang ada seperti alam batu, dan alam tanah, akan tetapi, mereka memakai `alamin untuk merujuk kepada setiap makhluk tuhan yang berakal, atau mendekati sifat-sifat berakal, seperti alam manusia, alam hewan, dan alam tumbuhan. Dengan ini, Sirajuddin Zar menawarkan bahwa alqur`an, untuk merujuk alam dalam pengertian alam semesta (universe) itu, menggunakan kata al-samawat wa al-ardb wa ma bainabuma, yang disebut alquran sebanyak 20 kali. Kata ini mengacu kepada dua alam, dan alam non fisik atau alam gaib, seperti alam malaikat, alam jin, dan alam ruh.
Untuk mempermudah kajian, Abu Al-`Ainain menyebut alam semesta dalam filsafat dengan istilah al-kaun, yang berarti segala sesuatu yang di ciptakan, yang mencakup nama segala jenis makhluk, baik yang dapat dihitung maupun yang hanya dapat dideskripsikan saja. Al-kaun sebagai wujud makhluk Allah dapat dibagi dalam dua kategori; `Alam Al-Syahadab yang dapat dikenali melalui panca indera seperti langit dan bumi, dan `Alam Al-Gaib yang hanya dapat dikenali melalui wahyu ilahi, seperti alam malaikat, dan alam jin. Menurut Mulyadhi Kartanegara, alam semesta dalam tinjauan filsafat Islam diciptakan melalui kehendak bebas Tuhan, bukan melalui keniscayaan. Alam semesta diciptakan secara sengaja dan terencana, bukan secara kebetulan. Alam semesta tidak bersifat abadi, tetapi tercipta dalam waktu dengan sebutan titik awal. Alam diciptakan dari tiada meskipun ketiadaan ini tidak harus selalu dipahami dalam arti ketiadaan yang mutlak, tetapi ada sebagai kemungkinan. (1)
Filsafat Kematian Manusia dan Alam Semesta
“Ajal” merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Arab, yakni dari kata ajal ( أجـل — berbentuk nakirah) atau al-ajal ( الأجـل — berbentuk maʻrifah). Lafal ajal atau al-ajal dengan segala varian perubahannya banyak termaktub di dalam al-Quran. Disebut di dalamnya sebanyak 55 kali dalam bentuk dan dalam konteks yang berbeda-beda. Selama ini dalam persepsi masyarakat, khususnya umat Islam, terdapat penyamaan pengertian antara “ajal” dan “maut” atau kematian, yakni keduanya sinonim atau merupakan kata-kata yang maknanya saling terkait.
Apabila diperhatikan, kedua kata itu lebih banyak dikaitkan dengan makhluk hidup yang berkonotasi individual. Misalnya, “Orang yang kecelakaan itu akhirnya mati menemui ajalnya”, atau “Hewan kurban yang disembelih itu sedang sekarat menjemput ajal”. Jarang sekali didengar atau dibaca kata “ajal” digunakan untuk menggambarkan suatu umat, kaum, atau bangsa yang sedang menghadapi keruntuhan atau kehancuran. Menarik untuk diketahui bahwa ternyata al-Quran menyebut kata “ajal” yang dikaitkan dengan eksistensi suatu umat. Kata “umat” dapat berarti “kaum” atau “bangsa”.
Di antaranya, Allah SWT berfirman secara eksplisit dalam QS 7 [al-A’rāf]: 34, yakni
جلهم لا أذا جاء فإجل، أمة أكل و ليستأخرون ساعة و لا يستقدمون,
yang artinya:
“Dan tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka apabila ajal mereka telah datang, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) dapat memajukannya.”
Ayat tersebut mengisyaratkan adanya hubungan erat antara eksistensi suatu umat dengan “ajal”. Begitu “ajal” datang, maka runtuhlah umat itu. Dengan kata lain, umat itu pun mengalami kematian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat itu merupakan sebuah organisme yang hidup layaknya organisme-organisme individual seperti manusia dan hewan, bahkan juga tumbuh-tumbuhan. Jikalau kematian pada manusia, misalnya, sering dikaitkan dengan ruh atau nyawa, sehingga apabila ruh telah tercabut dari tubuh manusia, maka manusia pun akan mengalami kematian.
Lantas bagaimanakah dengan umat, apakah mereka juga mempunyai ruh? Dalam konteks ini, dimana sesungguhnya posisi “ajal” apabila dihubungkan dengan ruh dan kematian? Apakah “ajal” itu mendahului kematian yang karena itu dapat disebut sebagai “makhluk” tersendiri sebagaimana halnya ruh, dan semacam “pintu masuk” menuju kematian, ataukah “ajal’ itu identik dengan kematian itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus bermunculan di dalam benak meskipun disadari bahwa terdapat garis batas yang tidak boleh dilewati manusia yang sudah difirmankan Allah SWT. Misalnya, bahwa setiap makhluk yang bernyawa —berarti yang hidup— akan merasakan atau mengalami kematian. Penggalan ayat yang berbunyi:
…كل نفس ذائــقة الموت
dijumpai pada tiga tempat, yaitu pada surat Āli ʻImrān: 158, surat Al-Anbiyā’: 35, dan surat al-‘Ankabūt: 57. Sementara itu, rahasia tentang hakekat ruh hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya. Manusia hanya diberi informasi yang sedikit tentang ruh, sebagaimana firman-Nya di dalam surat al-Isrā’: 85, yakni:
وتيتم من العلم أمر ربي و ما أو يسئـلونك عن الروح، قل الروح من إ .لا قليلا
Ketika al-Quran menyebut setiap umat mempunyai “ajal”, maka diperlukan adanya contoh-contoh kongkrit dalam kehidupan yang nyata. Realitas menunjukkan bahwa ternyata umat itu beragam dan jumlahnya sangat banyak, tidak terkecuali umat Islam, kaum Muslim, atau bangsa-bangsa Muslim. Di antara sekian banyak umat itu ada yang masih eksis sampai sekarang, tetapi ada juga yang tinggal kenangan belaka dan menjadi bagian dari cerita sejarah. Umur mereka pun berbeda-beda panjang-pendeknya. Pada akhirnya, perjalanan hidup mereka pun berujung pada “ajal” dan kemudian mengalami kematian. Sejarah mencatat bahwa terdapat sejumlah faktor penyebab terjadinya keruntuhan atau kehancuran suatu umat. Apakah faktor-faktor penyebab keruntuhan itu merupakan suatu “ajal” yang berakhir pada kematian? Apabila faktor-faktor penyebab keruntuhan itu merupakan ekspresi dan karakteristik dari “ajal”, maka hal ini dapat menjadi pelajaran penting untuk memprediksi akhir perjalanan hidup suatu umat.
Prediksi yang dimaksud bukan untuk menyatakan secara pasti waktu keruntuhan atau kematian suatu umat, melainkan sebagai salah satu cara membaca “tanda-tanda zaman” dalam rangka memperoleh kemanfaatan yang lebih besar bagi kehidupan umat manusia. Sebagai perbandingan, kalau silaturahim saja oleh Nabi Muhammad SAW disabdakan dapat memperbanyak rizki dan memperpanjang umur, maka dengan membaca “tanda-tanda zaman” yang diduga sebagai ekspresi dari “ajal”, maka siapa tahu keruntuhan atau kematian suatu umat dapat diundurkan, dan perjalanan hidup mereka dapat berlangsung lebih lama lagi. Sebagaimana diketahui bahwa sejarah panjang umat Islam, sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, telah menorehkan kisah-kisah keruntuhan bangsa-bangsa Muslim yang pernah mendirikan kerajaan-kerajaan Islam. Seperti halnya kematian makhluk secara individual, keruntuhan kerajaan-kerajaan Islam merupakan ekspresi sunnatullah.
Penulis berasumsi bahwa runtuhnya suatu kerajaan Islam tidak terjadi begitu saja, melainkan karena adanya faktor-faktor penyebab yang selalu terulang kembali pada waktu dan tempat yang berbeda. Asumsi lainnya adalah faktor-faktor penyebab itu berkaitan erat dengan “ajal” atau merupakan “ajal” itu sendiri. (2)
Para peneliti mengungkapkan bahwa akhir alam semesta akan perlahan-lahan menghilang dari semua bintang sampai terjadi kegelapan pekat di seluruh kosmos. Ketika waktu yang kita ketahui berakhir, itu tidak akan terjadi dengan cara yang sama seperti semesta muncul yakni ledakan, melainkan kematian yang lambat dari kosmos. Sejak Big Bang terjadi hampir 14 miliar tahun lalu, alam semesta terus mengembang dengan kecepatan yang terus meningkat. Termodinamika merupakan studi tentang panas dan energi serta bagaimana pengaruhnya terhadap satu sama lain. Hukum pertamanya menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan tapi hanya dipindahkan dan diubah menjadi jenis yang berbeda. Sementara hukum kedua termodinamika telah memberi para ilmuwan wawasan tentang akhir alam semesta yang dingin dan sepi. Penjelasan paling sederhananya adalah bahwa panas secara alami akan berpindah ke tempat yang lebih dingin, tapi tidak akan pernah dapat dilakukan dengan efisiensi hingga 100 persen.
Babak Akhir Alam Semesta
Selama ribuan tahun, ada pertanyaan sama yang selalu muncul tentang alam semesta. Apakah alam semesta akan tetap ada atau akan ada akhirnya? Apakah alam semesta memang selalu ada atau jika tidak, berapa usianya? Sekitar seratus tahun lalu, seorang astronom berhasil menemukan jawaban tersebut: Alam semesta ini mengembang. Penemuan itu memperlihatkan kalau alam semesta ukurannya berubah dan memiliki awal. Sekarang kita tahu kalau alam semesta mulai dari peristiwa Big Bang atau Dentuman Besar sekitar 14 miliar tahun lalu. Sejak itu, alam semesta terus memuai dan saat ini ukurannya sudah miliaran kali lebih besar dibanding saat alam semesta masih muda. Tapi tidak hanya itu. Galaksi yang ada di alam semesta ternyata bergerak menjauh satu sama lainnya. Selain itu, galaksi yang lebih jauh, bergerak lebih cepat. Dengan kata lain, alam semesta bertumbuh dengan cepat seiring waktu. Untuk memahami perubahan alam semesta, kita harus melihat kembali kapan percepatan pengembangan alam semesta terjadi, yakni saat masih remaja. Kembali ke masa lalu memang tidak mudah. Tapi bukannya tidak mungkin. Yang harus dilakukan adalah menemukan objek sangat jauh yang super terang. Dan kita harus mengetahui kecerlangan objek tersebut. Semakin jauh, sebuah objek akan semakin redup. Kalau kita tahu kecerlangannya, jaraknya bisa diketahui.
Hancurnya alam semesta, diiringi dengan keadaan musnahnya umat manusia yang berarti hancurnya seluruh peradaban yang telah dibangun oleh manusia selama berabad-abad lamanya. Tentu saja banyak orang-orang yang ingin mengetahui kapan dan bagaimana kiamat itu terjadi. Memang manusia tidak dapat meramalkan kapan kehancuran alam semesta akan terjadi, tetapi bagi ilmuwan ada skenario-skenario yang dapat dibuat yang menjurus pada kepunahan umat manusia. Dalam Tafsir Al Azhar, Hamka menyebutkan bahwa hari kiamat itu pasti akan datang ketika semua manusia akan berduyun-duyun berkumpul ketika tiupan sangkakala dibunyikan. Dan mengenai waktunya hanya Allah yang dapat menentukannya dengan tidak mengurangi dan menambahkannya dan tidak pula ada yang mengetahui bila hal itu akan terjadi, selain Allah sendiri. Menurut Hamka, kalau kiamat itu datang, langit akan pecah belah dan segala aturan sempurna yang dapat kita saksikan pada langit dengan matahari, bulan dan bintang-bintangnya, semuanya akan menjadi kelihatan dahsyat dengan gumpalan-gumpalan awan yang berubah dari biasanya.
Menurut Ibnu Katsir, Terjadinya kiamat berupa goncangan yang dahsyat serta berbagai kerusakan di bumi. Bumi yang tadinya kokoh, kemudian bergoncang, kemudian mengeluarkan semua isi yang dikandungnya, yaitu mayat-mayat orang-orang terdahulu dan yang terakhir. Kemudian pada hari itu manusia keluar dari kubur-kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, yaitu terdiri dari beberapa golongan, macam, dan lihatkan kepada mereka pekerjaan mereka, yaitu supaya mereka beramal dan akan dibalas amal mereka itu. Bila baik maka dibalas dengan kebaikan, bila jelek maka dibalas dengan kejelekan. (3)
Referensi
- Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, ( Yogyakarta: Ar-Ruzzma Media, 2006), h. 96-97
- Tafsīr al-Azhār karya HAMKA dan Tafsīr al-Miṣbāh karya Quraish Shihab
- Muhammad Nasib Ar Rifai, 2000:1027-1028
Zahra, L.N. (2021, Juli 14). Akhir Umat Manusia dan Alam Semesta. Retrieced from https://mitrapalupi.com/akhir-umat-manusia-dan-alam-semesta
Pingback: Filsafat – Mitra Palupi