Deep learning membawa kita pada pertanyaan mendasar tentang sifat kecerdasan dan pembelajaran (LeCun, Bengio, & Hinton, 2015). Sistem ini mendemonstrasikan kemampuan untuk “belajar” dari data, tetapi apakah ini benar-benar pembelajaran dalam arti filosofis yang mendalam(Marcus, 2018) ? Mari kita telusuri beberapa perspektif:
Dari sudut epistemologi, deep learning menantang pemahaman tradisional kita tentang pengetahuan. Sistem ini tidak memiliki pemahaman konseptual seperti manusia, namun dapat menghasilkan hasil yang sangat akurat. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah pemahaman sejati diperlukan untuk kinerja yang kompeten? Model deep learning bisa mengidentifikasi kucing dalam gambar tanpa memahami “ke-kucing-an” seperti yang dibicarakan Plato dalam teori forms-nya.
Secara ontologis, deep learning mengaburkan batas antara deterministik dan emergen(Clark, 2019). Meskipun setiap langkah komputasinya deterministik, perilaku keseluruhan sistem sering tidak dapat diprediksi – mirip dengan konsep emergence dalam filsafat pikiran. Ini mengingatkan kita pada debat klasik tentang reduksionisme versus holisme.
Ada juga dimensi etis yang menarik. Deep learning mencerminkan dan kadang memperkuat bias yang ada dalam data trainingnya(O’Neil, 2016). Ini menimbulkan pertanyaan tentang objektivitas dan keadilan. Siapa yang bertanggung jawab ketika sistem AI membuat keputusan yang merugikan? Bagaimana kita menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan keadilan sosial?
Lebih jauh lagi, deep learning menantang konsep kreativitas dan orisinalitas. Ketika model dapat menghasilkan seni atau musik, apakah ini benar-benar kreatif atau hanya rekombinasi canggih dari pola yang ada? Ini membawa kita pada pertanyaan fundamental tentang sifat kreativitas manusia itu sendiri.
Deep learning juga memunculkan pertanyaan tentang kesadaran dan pengalaman subjektif. Meskipun model-model ini dapat meniru perilaku cerdas, apakah mereka memiliki pengalaman internal? Ini mengingatkan kita pada eksperimen pemikiran “Chinese Room” Searle(Searle, 2020) dan debat tentang consciousness dalam filsafat pikiran.Yang menarik, deep learning juga mempengaruhi epistemologi ilmiah. Model-model ini sering mencapai hasil yang efektif tanpa memberikan penjelasan yang dapat dipahami manusia. Ini menantang ideal tradisional tentang pengetahuan ilmiah yang dapat dijelaskan dan dipahami.
Akhirnya, deep learning mengajak kita untuk memikirkan kembali konsep kita tentang kecerdasan. Mungkin kita perlu meninggalkan pandangan antroposentris tentang kecerdasan dan mengakui bahwa bisa ada bentuk-bentuk kecerdasan yang sangat berbeda dari kecerdasan manusia. Ini sejalan dengan kritik post-humanis terhadap definisi tradisional tentang kecerdasan dan kesadaran.Bagaimanapun, deep learning bukan hanya kemajuan teknologi – ia adalah cermin yang memantulkan kembali pertanyaan-pertanyaan terdalam tentang pikiran, pengetahuan, dan sifat realitas itu sendiri. Teknologi ini mengundang kita untuk memikirkan kembali asumsi-asumsi filosofis kita tentang apa artinya berpikir, belajar, dan menjadi cerdas.
Adapula disitu disinggung tentang elaborasi. Tahap elaborasi dalam pembelajaran memang memiliki peran strategis dan kritis dalam membangun pemahaman yang mendalam. Elaborasi merupakan jembatan kognitif yang menghubungkan pengetahuan teoretis dengan pengalaman nyata(Reigeluth, 1999). Ketika siswa terlibat dalam pembelajaran berbasis proyek atau masalah, mereka tidak sekadar menghafalkan informasi, tetapi membangun pemahaman yang kontekstual. Misalnya, saat siswa mengerjakan proyek tentang pencemaran lingkungan, mereka tidak hanya memahami konsep kimia polutan, tetapi juga melihat dampaknya secara langsung di lingkungan sekitar.
Proses elaborasi juga mendorong pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi(Anderson & Krathwohl, 2001). Ketika siswa berdiskusi dan memecahkan masalah, mereka mengaktifkan berbagai level kognitif – dari menganalisis hingga mengevaluasi dan menciptakan solusi. Hal ini jauh lebih berharga daripada pembelajaran yang hanya menekankan pada mengingat dan memahami.
Aspek sosial dalam tahap elaborasi tidak kalah pentingnya. Melalui diskusi kelas, siswa belajar mengartikulasikan pemikiran mereka, mendengarkan perspektif berbeda, dan membangun pengetahuan secara kolaboratif. Proses ini mencerminkan bagaimana pengetahuan sebenarnya dikonstruksi dalam dunia nyata – melalui interaksi dan pertukaran ide.
Namun, keberhasilan tahap elaborasi sangat bergantung pada kualitas fasilitasi. Guru perlu merancang aktivitas yang benar-benar mendorong pemikiran mendalam, bukan sekadar “mengerjakan proyek” tanpa refleksi bermakna. Tantangan juga muncul dalam mengelola waktu dan sumber daya, mengingat pembelajaran elaboratif biasanya membutuhkan durasi yang lebih panjang.
Efektivitas elaborasi juga terkait erat dengan relevansi. Ketika masalah atau proyek yang dihadapi siswa berasal dari konteks nyata yang mereka kenali, motivasi belajar akan meningkat secara alamiah. Siswa melihat hubungan langsung antara apa yang mereka pelajari dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Dari perspektif neurosains, tahap elaborasi membantu membangun jejaring neural yang lebih kuat dan kompleks(Dehaene, 2020). Ketika siswa menghubungkan pengetahuan baru dengan pengalaman sebelumnya(Bransford, Brown, & Cocking, 2000), mereka menciptakan lebih banyak koneksi di otak, yang pada gilirannya membuat pembelajaran lebih bermakna dan bertahan lama.Yang menarik, tahap elaborasi juga mendukung pengembangan keterampilan metakognitif. Siswa belajar untuk memonitor pemahaman mereka sendiri, mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan, dan mengatur strategi belajar mereka. Ini adalah keterampilan yang sangat berharga untuk pembelajaran seumur hidup.Elaborasi juga berperan penting dalam membangun sikap positif terhadap pembelajaran. Ketika siswa melihat bahwa mereka dapat mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam situasi nyata, kepercayaan diri dan motivasi intrinsik mereka meningkat. Ini menciptakan siklus positif dimana keberhasilan mendorong pembelajaran lebih lanjut.
Dalam konteks pendidikan modern, tahap elaborasi menjadi semakin penting mengingat kompleksitas tantangan yang akan dihadapi siswa di masa depan(Collins & Halverson, 2018). Kemampuan untuk menghubungkan berbagai konsep, berpikir secara sistemik, dan mengaplikasikan pengetahuan dalam situasi baru akan menjadi keterampilan kunci di abad 21(Sousa, 2017).